Jakarta (ANTARA News) - Selasa, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sangat akrab dengan saling berbalas ciuman, pelukan, pegangan tangan dan mengusap pundak masing-masing.
Sehari kemudian, Rabu waktu AS, di depan sidang pleno Kongres, pemimpin Prancis yang kharismatis itu putar arah dengan menggugat filosofi dan padangan politik Presiden Trump.
Macron terang-terangan menyatakan tekad mempertahanan tatanan dunia dari nasionalisme "First America" ala Donald Trump.
Macron ingin mengikat pemerintahan Donald Trump ke dalam sistem internasional Barat yang sudah ada, meyakinkan Amerika untuk terikat pada upaya-upaya multilateral dalam mematikan program nuklir Iran, memerangi perubahan iklim, dan mengawal globalisasi serta perdagangan bebas.
Seperti ditulis laman CNN.com, Macron ingin memposisikan Prancis sebagai kanal antara Amerika dan Uni Eropa akibat retaknya posisi politik Kanselir Jerman dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Tetapi Macron tidak dapat mencapai semua tujuan itu tanpa membawa serta Trump, dan sekaligus meyakinkan pemimpin AS itu untuk mengompromikan posisi-posisi yang dia rasakan dengan intensitas yang mendalam dan tulus atau paling tidak mencegah Trump merusak sistem global yang memang kerap dia lakukan.
Itulah mengapa Macron membangun pola hubungan emosional yang menyentuh dengan Trump, yang terlukiskan dari ciuman, pelukan dan jabat tangan seperti antara bapak pendiri Amerika Benjamin Franklin dan filsuf Prancis Voltaire.
Perbedaan mencolok filosofi dan ofensif anggun Macron dengan Trump yang tersirat dalam pidatonya itu telah membuat para wakil rakyat AS berulang kali memberikan standing ovation dan bersorak.
Menurut CNN, gaya teatrikal Macron saat berpidato di depan Kongres AS dalam Bahasa Inggris yang fasih dengan menjabarkan kebijakan-kebijakan yang dia usung, membuat sang presiden Prancis terlihat seperti presiden Amerika dari Partai Demokrat yang tengah menyampaikan pidato kenegaraan.
Baca juga: Macron kunjungi AS untuk selamatkan perjanjian nuklir Iran
Macron menyinggung pengorbanan bersama Prancis dan AS dalam dua perang dunia dan dalam perang melawan terorisme baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Suriah.
Tetapi sejurus kemudian dia menampar filosofi nasionlis populis yang dianut Trump yang ditiru oleh gerakan-gerakan politik antikemapanan di seantero Eropa.
"Kita boleh memilih isolasionisme, penarikan diri dan nasionalism. Ini pilihan. Itu bisa membuat kita merasai obat sementara untuk ketakutan-ketakutan kita," kata Macron.
"Tetapi menutup pintu terhadap dunia tidak akan menghentikan evolusi dunia. Itu tidak akan memadamkan, sebaliknya mengobarkan ketakutan warga negara kita."
Macron memperingatkan bahwa internasionalisme liberal tengah dikepung sehingga membersitkan kebutuhan akan tatanan dunia baru Abad 21 yang didasarkan kepada nilai-nilai fundamental, aturan hukum dan hak asasi manusia.
"Kekuatan lain dengan strategi dan ambisi yang lebih kuat akan mengisi kekosongan akibat kita tinggalkan. Kekuatan lain tidak akan lagi ragu-ragu mengagungkan model mereka dalam membentuk tatanan dunia Abad 21."
"Jika Anda tanya saya, saya tidak terkagum-kagum kepada penguasa kuat, kepada pengabaian kebebasan dan ilusi nasionalisme," kata Macron.
Pernyataan ini sangat berbalikkan dengan sikap Trump yang justru memuja orang-orang kuat seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping.
Macron menyeru Amerika Serikat untuk kembali kepada multilateralisme. Dia menyoroti sistem global yang telah ditemukan Amerika dan dibela mati-matian pada Perang Dunia II, serta memperingatkan keadaan kritis di masa kini dengan mengingatkan bahaya isolasionisme, penarikan diri dan nasionalisme.
"Ini semua membutuhkan keterlibatan Amerika Serikat karena peran Anda semua menentukan dalam menciptakan dan mengawal dunia bebas ini," kata Macron. "Amerika Serikat adalah salah satu yang menemukan multilateralisme ini. Anda adalah pihak yang sekarang harus menolongnya demi melestarikan dan memperbaruinya."
Pewarta: ANTARA
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018