Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut dua pasal dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP) yang mengatur ancaman pidana terhadap perbuatan penyebaran kebencian terhadap pemerintah. Dalam sidang putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Selasa, majelis hakim konstitusi menyatakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP, tidak menjamin adanya kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," tutur hakim konstitusi Natabaya, saat membacakan putusan. Sebagai konsekuensinya, kedua pasal itu dinilai secara tidak proporsional menghalangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat. MK menyatakan pasal 154 dan 155 KUHP tidak rasional karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulaut, kecuali dalam hal makar. "Namun, ketentuan makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain dan bukan dalam pasal 154 dan pasal 155 KUHP," ujar Natabaya. Menurut majelis konstitusi, Menteri Kehakiman Belanda pun saat menyusun KUHP Belanda pada abad ke-19 secara terang-terangan telah menyatakan penolakan terhadap usul memasukkan ketentuan pasal penyebaran pencemaran terhadap pemerintah. Majelis konstitusi menyatakan di Belanda sendiri ketentuan tersebut dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan gagasan kemerdekaan berekspresi dan beropini sehingga hanya dapat ditoleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan. "Dengan demikian, nyatalah bahwa ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP, menurut sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda," kata Natabaya. Karena itu, lanjut dia, telah nyata pula bahwa kedua ketentuan tersebut bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Uji materiil terhadap pasal 154 dan 155 KUHP diajukan oleh Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) R Panji Utomo, yang telah divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Nanggroe Aceh Darussalam dengan menggunakan pasal 154 KUHP. Panji didakwa mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah dalam aksi unjuk rasa di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD pada 2006. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal tersebut karena dalam aksi itu sebenarnya ia mewakili kepentingan para pengungsi korban tsunami yang menuntut hak-haknya. Menurut pemohon, pasal tersebut merupakan pasal karet yang sudah tidak sesuai lagi dalam alam kehidupan demokrasi. Selain mengajukan uji materiil pasal 154 dan 155 KUHP, pemohon juga mengajukan uji materiil pasal 107, pasal 160, pasal 161, pasal 207, dan pasal 208 KUHP yang dinilainya sebagai pasal karet. Namun, MK hanya mengabulkan permohonan uji materiil terhadap pasal 154 dan 155 KUHP. MK menilai permohonan pengujian pasal selebihnya tidak ada relevansinya dengan dalil kerugian hak konstitusional pemohon sehingga tidak perlu dipertimbangkan. Panji Utomo menyambut baik putusan MK tersebut meski tidak seluruh permohonannya dikabulkan. Putusan MK itu, menurut dia, dapat menciptakan alam kehidupan yang lebih demokratis di Indonesia.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007