Jakarta (ANTARA News) - Pada Jumat (27/4), mata dunia akan tertuju ke suatu momen bersejarah yang akan mempertemukan dua pemimpin Korea untuk pertama kalinya sejak 11 tahun silam.
Untuk pertama kali pula dalam sejarah, pemimpin Korea Utara akan melintasi garis demarkasi di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi antar-Korea di Zona demilitarisasi Korea.
Dua pertemuan antar-Korea sebelumnya, yaitu pada 2000 dan 2007, dilakukan di Pyongyang, Korut.
Presiden Korsel Moon Jae-in dan Presiden Korut Kim Jong-un pada 27 April nanti akan duduk bersama di dalam Peace House yang terletak di desa perbatasan Panmunjeom yang merupakan simbol pemisahan kedua wilayah Korea.
"Kami semua berharap tempat sederhana ini, yang disebut rumah perdamaian, bisa diubah dari ikon pemisahan yang dalam menjadi suatu ikon perdamaian, ikon rekonsiliasi," ungkap Duta Besar Republik Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom di Jakarta, Kamis (19/4).
Dubes Kim pun menyadari bahwa mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea merupakan jalan yang masih panjang yang harus ditempuh kedua negara.
"Paling tidak pertemuan ini bisa meletakkan fondasi untuk memulai diskusi yang tulus untuk mewujudkan perdamaian abadi di Semenanjung Korea," kata Dubes Kim.
Baca juga: Seohyun berharap konser di Pyongyang jadi langkah menuju perdamaian
Perubahan Substansial
Tak ada yang menyangka jika tahun 2018 menunjukkan kemajuan substansial terhadap hubungan dua bangsa bersaudara yang terpisahkan terlalu lama di Semenanjung Korea.
Masih segar dalam ingatan manakala Kim Jong-un rajin melakukan provokasi lewat uji coba bom nuklir dan rudal balistik mereka pada tahun lalu.
Seorang pejabat Kemlu Korea Selatan yang ditemui Antara di Seoul, pada Maret menyatakan Korut telah sedikitnya melakukan 15 kali uji coba rudal balistik pada 2017.
Dari tahun 2006 hingga 2017, tercatat Korea Utara sedikitnya melakukan uji joba nuklir selama enam kali.
Pengembangan bom nuklir mereka dari waktu ke waktu menjadi semakin baik.
Tes nuklir pertama kali Korea Utara memiliki kekuatan hanya 0,8 kilo ton. Hingga pada September 2017, Korea utara berhasil melakukan uji ledak bom hidrogen yang diklaim oleh mereka memiliki kekuatan ledak 50 kilo ton atau bahkan lebih dari itu, jauh lebih besar dari pada bom atom yang pernah dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima pada Perang Dunia II yaitu sebesar 15 kiloton.
Banyak yang berspekulasi tentang sejauh mana Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir mereka.
Namun demikian, hal yang menjadi kekhawatiran adalah apakah mereka telah berhasil mengembangkan ICBM atau perluru kendali balistik antarbenua.
Apabila iya, maka jika teknologi tersebut digabung dengan bom nuklir, maka senjata tersebut bisa menjangkau daratan Amerika Serikat.
Akan tetapi, teknologi re-entry untuk rudal Korut belum terselesaikan dengan baik dan belum bisa diverifikasi, kata pejabat tersebut.
Sebagian besar warga Korsel pun sedang dalam suasana hati yang bagus setelah melihat bendera unifikasi Korea berkibar di ajang Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018 pada Februari karena untuk pertama kalinya Korea Utara dan Korea Selatan bersatu, paling tidak untuk berjuang bersama di tim hoki es perempuan.
Setelah Olimpiade Pyeongchang, Korsel mengirim delegasi ke Pyongyang untuk bertemu dengan Kim Jong-un.
Dalam pertemuan di Pyongyang itu, Kim menyatakan kesediaannya untuk bertemu dengan pemimpin Korsel pada April nanti, dan disusul pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump yang kemungkinan digelar sekitar akhir Mei atau awal Juni nanti.
"Kami mengerti jika hanya satu pertemuan tingkat tinggi tidak akan bisa menyelesaikan semua isu. Ini adalah suatu langkah kecil namun sangat penting dan simbolis," kata Dubes Kim.
Setidaknya ada tiga isu utama yang akan menjadi perhatian utama Korsel pada pertemuan nanti, kata Dubes Kim.
Pertama adalah bagaimana menyelesaikan isu denuklirisasi dengan Korut.
Senjata nuklir yang dikembangkan oleh Korut dipandang menjadi ancaman perdamaian dan stabilitas tak hanya di Semenajung Korea namun juga di dunia.
"Tanpa kemajuan dalam pembahasan isu denuklirisasi, kita tidak akan melihat hubungan yang membaik antara Korut dengan Korsel dan juga dengan AS," kata Kim.
Kedua, bagaimana menciptakan perdamaian yang abadi di Semenanjung Korea termasuk meredakan ketegangan militer
Secara teknis Korsel dan Korut masih dalam keadaan perang karena kedua negara itu hanya menandatangani perjanjian gencatan senjata pada 1953.
"Kami harus mengubah perdamaian yang tidak stabil ini menjadi perdamaian yang stabil dan permanen," kata Dubes Kim.
Kemudian, Korsel menaruh perhatian untuk bagaimana memperbaiki hubungan antar-Korea.
Namun demikian hal itu akan sangat tergantung dari kemajuan dialog antar-Korea April nanti.
"Kami terbuka untuk membahas berbagai macam isu terkait hubungan antar-Korea seperti pertukaran kerjasama dan isu kemanusiaan seperti reuni keluarga yang terpisah setelah perang," kata Dubes Kim.
Baca juga: Korsel berharap perdamaian abadi di Semenanjung Korea
Posisi Korsel
Terhadap Korut, Korsel pun memiliki posisi yang tegas.
Di satu sisi, mereka mengejar resolusi diplomatik terhadap isu nuklir Korea Utara dan penyelesaian denuklirisasi melalui dialog untuk perbaikan hubungan antar-Korea.
Di sisi lain, Korsel bersama negara-negara lain masih menerapkan sanksi ke Korut yang tidak akan dicabut hingga Korut mengambil langkah untuk melakukan denuklirisasi.
Pada akhir Maret Kim Jong-un melakukan kunjungan ke luar negeri pertamanya sejak berkuasa pada 2011 dengan menemui Presiden China Xi Jinping di Beijing.
Faktor China sangat krusial bagi Korut karena raksasa Asia itu adalah mitra dagang terbesar Korut yang bertanggung jawab atas sekitar 90 persen perdagangan Korut.
Baca juga: Kepada China, Kim Jong Un janji denuklirisasi Semenanjung Korea
Tentu banyak interpretasi muncul kenapa pemimpin Korut itu melakukan kunjungan ke Beijing terlebih dahulu sebelum menghadiri pertemuan antar-Korea dan dengan AS.
Dubes Kim menggarisbawahi bahwa hal itu adalah sinyal yang bagus karena tanpa intervensi dan pengaruh positif dari China maka kemajuan yang berkelanjutan akan sulit dicapai dalam isu Semenanjung Korea.
Lalu apa yang Korut dapatkan jika mereka melucuti senjata nuklirnya?
Seorang pejabat Kemlu Korsel menyebut bahwa Korut tak akan menghasilkan sesuatu yang produktif dengan mengembangkan senjata nuklir melainkan hanya mendapatkan sanksi dan isolasi dunia internasional.
Jika Korut menyerah dengan program senjata nuklir mereka, "kami akan menyediakan, bersama masyarakat internasional, masa depan yang cerah," kata pejabat itu.
Bagaikan bermain ski di atas es yang tipis, demikian Dubes Kim menggambarkan upaya unifikasi Korea saat ini karena sebelas tahun sejak pertemuan antar-Korea terakhir, sangat lah sulit untuk menghasilkan solusi yang konkret dan produktif dari dialog kedua negara.
Namun dengan dukungan dari mayoritas warga Korsel dan dunia internasional, Korsel kurang lebih bersatu menuju satu tujuan yang sama yaitu mewujudkan perdamaian abadi di Semenajung Korea.
"Kami tidak bisa terlalu optimistis namun kami bisa dengan aman mengatakan bahwa paling tidak kami sekarang sedang mulai langkah yang diperbarui untuk membangun perdamaian di Semenanjung Korea," kata Dubes Kim.
Pertemuan antar-Korea nanti diharapkan membuat sejumlah kemajuan sebelum dilanjutkan dengan pertemuan presiden AS dan Korut sehingga keseluruhan dialog bisa menghasilkan efek sinergis tak hanya bagi hubungan Korut-Korsel namun juga dengan AS.
Baca juga: Dua Korea makin mesra
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018