Mataram (ANTARA News) - Ekonom Bank UOB, Enrico Tanuwidjaja menilai bahwa sentimen kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) masih menjadi salah satu faktor yang menahan apresiasi rupiah terhadap dolar AS.
"Risiko kenaikan suku bunga Fed bisa berdampak ke pembalikan modal dan berdampak negatif bagi rupiah," ujar Enrico Tanuwidjaja yang juga Head of Economic and Market Research Bank UOB, dalam edukasi pewarta bertema "Kondisi Perekonomian Terkini dan respon Kebijakan Bank Indonesia" di Mataram, Sabtu.
Saat ini, menurut dia, ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga Fed cukup tinggi, yakni tiga hingga empat kali kenaikan. Hal itu seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat.
"Mengapa rupiah bergerak dari Rp13.000 menjadi Rp13.900 per dolar AS. Artinya, pasar memandang The Fed optimis, jadi akan ada kenaikan suku bunga Fed lebih agresif. Tahun ini, The Fed baru menaikan satu kali. Dan sudah cukup menekan pasar," katanya.
Di sisi lain, lanjut dia, faktor penekan bagi nilai tukar rupiah yakni perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Diharapkan, sentimen perang dagang tidak berlarut-larut sehingga fluktuasi rupiah dapat lebih stabil.
Kendati demikian, Enrico Tanuwidjaja menilai positif terhadap kebijakan-kebijakan moneter yang telah dikeluarkan Bank Indonesia.
"Kami inline dengan kebijakan BI, karena inflasi masih dalam batas official target, hubungan antara rupiah dan suku bunga BI cukup konsisten," katanya.
Menurut dia, level BI 7-Day Reverse Repo Rate saat ini cukup mendukung perekonomian dan moneter nasional. Saat ini, suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate berada di level 4,25 persen.
Enrico Tanuwidjaja juga mengatakan bahwa Bank Indonesia juga harus tetap hati-hati dalam melakukan intervensi terhadap pelemahan rupiah dengan menggunakan cadangan devisa.
Menurut dia, mencegah pelemahan mata uang tidak selamanya berhasil melalui cadangan devisa.
Belajar dari negara tetangga, Malaysia telah memangkas cadangan devisanya hingga mencapai 30 miliar dolar AS. Namun mata uang ringgit tetap melemah terhadap dolar AS.
"Kalau diperlukan ya dilakukan intervensi. Memang tidak ada level cadangan devisa yang ideal, tapi yang penting seberapa banyak cadev kita bisa membiayai impor, dan cadev kita masih tinggi," katanya.
Bank Indonesia mencatat, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 sebesar 126,00 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Dalam kesempatan sama, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Firman Mochtar mengharapkan persepsi kenaikan suku bunga The Fed lebih agresif serta ketidakpastian perang dagang dapat mereda.
"Ini isu fenomena global, bukan hanya rupiah tapi juga pada mata uang dunia. BI dalam posisi ini ada di pasar untuk menjaga volatilitasnya agar tetap menjaga kepastian," katanya.
Dengan penyesuaian nilai tukar, menurut dia, akan mampu menahan tekanan eksternal dan juga daya saing dari sisi penanaman modal asing (PMA).
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018