Jakarta (ANTARA News) - Puluhan warga Suriah yang menetap di Indonesia menyatakan dukungan kepada pemerintahan Presiden Bashar al Assad, satu pekan setelah tiga kekuatan besar Barat membombardir negara tersebut dengan ratusan rudal sebagai respon atas dugaan penggunaan senjata kimia.
"Kami masih mendukung presiden yang ada sekarang," kata Haitham Tabbaa, perwakilan sekitar 70 warga Suriah yang ada di Indonesia pada Jumat, di Jakarta.
Pria asal Damaskus yang sudah tinggal di Indonesia selama hampir 14 tahun itu berpendapat bahwa kelompok-kelompok gerilyawan yang menentang rezim Bashar adalah para teroris asing yang tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri Suriah.
Tabaa mengaku frustasi terhadap perang di negaranya karena menyebabkan para perantauan Suriah seperti dirinya tidak bisa rutin mudik ke negaranya setiap tahun.
"Dulu sebelum perang, saya setiap tahun sekali bisa pulang. Tapi setelah ada konflik, saya sudah empat tahun belum bisa kembali ke Damaskus," kata dia.
Sementara itu Atase Kedutaan Besar Suriah untuk Indonesia, Ziad Zaharuddin, kembali menegaskan sikap pemerintah Bashar yang mengecam serangan rudal dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis pada Sabtu pekan lalu karena dinilai melanggar hukum internasional.
"Serangan ini sebenarnya merupakan indikasi kekalahan kubu gerilyawan," kata Zaharuddin.
Dia menjelaskan bahwa dugaan penggunaan senjata kimia, yang dijadikan alasan serangan oleh ketiga negara Barat, ada kebohongan yang digunakan untuk melemahkan posisi pemerintah Bashar yang sudah hampir menang dalam perang saudara yang telah berlangsung selama tujuh tahun.
Zaharuddin mengaku berterimakasih kepada pemerintah Indonesia -- yang baru-baru ini telah memanggil duta besar dari ketiga negara Barat -- karena bersikap relatif netral dengan mengedepankan seruan kepada semua pihak untuk taat pada hukum internasionial.
Sebelumnya pada Sabtu lalu, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menggelar serangan rudal selama satu hari untuk menghancurkan fasilitas penyimpan cadangan senjata kimia yang ada di Suriah. Pihak pemerintah diduga menggunakan senjata terlarang itu di Douma pada awal April sehingga menewaskan sedikitnya 70 orang.
Hingga kini belum diketahui dengan pasti siapa pelaku serangan tersebut, sementara tim penyidik gabungan PBB dan lembaga pemantau senjata kimia (OPCW) masih melakukan investigasi. Pihak pemerintah membantah tudingan Barat dan justru balik menyatakan bahwa gerilyawan yang melakukan.
Banyak pihak, seperti lembaga bantuan hukum Amerika Serikat (American Civil Liberties Union) yang menilai serangan rudal pada Sabtu sebagai tindakan ilegal yang melanggar hukum internasional.
Namun di sisi lain, dari 60-an lebih dugaan serangan kimia yang terjadi di Suriah sejak tahun 2013, tim gabungan PBB dan OPCW sudah menyimpulkan bahwa pemerintah Bashar bertanggung jawab atas tiga serangan kimia. Termasuk di antaranya adalah serangan di Khan Shaykhun, Provinsi Idlib, pada tahun lalu yang menewaskan sedikitnya 74 orang dan melukai lebih dari 554 lainnya.
Baca juga: Warga negara Indonesia diimbau tidak kunjungi Suriah
Baca juga: Pakar senjata kimia masuki daerah serangan di Suriah
Pewarta: GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018