Yogyakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menyatakan siap dipinang untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2019.
"Saya siap kapan saja ketika amanah itu datang. Kalau anda tanya (kesiapan), 100 persen saya siap," kata Abraham kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu malam.
Kendati demikian, Abraham belum bisa memutuskan akan siap menjadi cawapres untuk Joko Widodo atau Prabowo sebagai capres yang sudah resmi muncul saat ini. "Kalau anda menyebutkan nama, maka saya harus shalat istikharah dulu apakah saya ke A atau ke B," kata dia.
Abraham mengklaim saat ini sudah ada dua partai politik (parpol) yang melakukan komunikasi dengan dirinya terkait Pilpres 2019.
"Kalau saya bilang tidak ada berarti saya dusta, kan tidak boleh mantan pimpinan KPK dusta, harus jujur, maka saya harus katakan ada partai-partai menengah, dua atau lebih," kata dia.
Meski begitu, ia mengatakan tidak ingin terlalu terjebak menikmati pendekatan yang dilakukan parpol saat ini karena ia sadar dirinya bukan kader parpol.
"Kedua, saya bukan orang yang punya kapital luar biasa yang bisa turun bertarung. Saya paham betul posisi saya," kata dia.
Namun, lanjut dia, ikhtiar politik harus tetap ia lakukan untuk mempersiapkan diri barangkali rakyat pada akhirnya menjatuhkan amanat kepadanya.
"Apapun amanah itu termasuk amanah untuk menjadi cawapres, capres, jadi ketua KPK kembali, maupun jadi wartawan," kata Abraham.
Ketika ditanya apa yang bisa ia berikan untuk Indonesia jika amanah itu datang, Abraham menegaskan ia mengetahui betul pola pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia serta berapa besar potensi yang bisa dihasilkan dari SDA itu.
Jika SDA bisa dikelola secara profesional, ia yakin akan mampu menyejahterakan rakyat secara menyeluruh. "Dengan pengelolaan yang profesional saya yakin sebenarnya tidak ada lagi orang miskin di Indonesia, tidak ada lagi orang yang mati kelaparan, tidak ada lagi orang yang mati karena tidak punya duit untuk ke rumah sakit," katanya.
Selain itu, ia juga akan memastikan sistem hukum tidak berpihak kepada orang-orang yang memiliki uang atau kekuasaan. "Itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang punya progresifitas," kata dia.
Menurut dia, pemimpin Indonesia harus memiliki national interest yang menurut dia pertama adalah keberpihakan terhadap pengelolaan SDA, pengelolaan pangan, sumber-sumber pendapatan, perbaikan sektor kesehatan dan pendidikan.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018