Ruang publik belakangan ini diramaikan oleh wacana tentang fiksi, yang demikian heboh karena ditautkan dengan kitab suci, yang tentu saja berujung pada penuntutan hukum dengan alasan penistaan agama.
Sebelum kehebohan yang berakhir di ranah hukum itu, wacana publik diramaikan pula oleh pernyataan salah satu politisi paling popular saat ini, Prabowo Subianto, tentang kemungkinan bubarnya Republik Indonesia pada 2030 yang dilandasi karya fiksi.
Tema perbincangan fiksi pun menjadi menu utama di media sosial. Di sini, dalam tulisan ini, kompleksitas perdebatan publik itu tak akan diperumit. Yang disajikan di sini adalah paparan tentang betapa pentingnya fiksi selama ini dalam memberikan pencerahan bagi pembacanya.
Itu sebabnya berbagai penghargaan bergengsi diberikan kepada penulis fiksi, yang layak disanjung puji karena kehebatannya dalam menghadirkan dunia fiksi yang diciptakannya.
Ketika revolusi teknologi informasi belum terjadi sebagaimana implikasinya yang terasakan seperti saat ini, orang menikmati fiksi bukan terutama karena isi ceritanya namun bagaimana cerita itu disampaikan oleh sang pengarang.
Saat ini, yang diutamakan adalah isinya. Penyampaiannya tak begitu penting. Pembaca pun pertama-tama hendak menemukan apa isi yang dikabarkan, bukan bagaimana isi itu didedahkan kepada pembaca.
Namun, tak sedikit fiksi yang gagal karena pengarangnya terlalu genit untuk mengekploitasi cara bertuturnya tanpa diimbangi dengan isi pekabaran yang memukau.
Dalam jagat fiksi dan perkembangannya, berbagai aliran menandai puncak-puncak pencapaian sastra dunia, dari yang realis, ekspresionis, surealis, realis magis, dan percampuran aliran-aliran itu.
Baca juga: Wapres Jusuf Kalla menyebut prediksi Indonesia bubar 2030 hanyalah fiksi
Baca juga: Presiden tertawa tanggapi prediksi Indonesia bubar 2030
Nah, dari fiksi yang mencerahkan itulah, pembaca bisa memetik hikmah yang terangkum dalam gubahan yang bisa cuma puluhan halaman hingga ribuan halaman ketebalannya.
Kira-kira fiksi apa saja yang memberikan pencerahan bagi pembaca? Bagi mereka yang tak betah menyimak karya-karya dengan ketebalan halaman yang bisa membuat dahi mengernyit, cobalah menikmati fiksi yang digubah salah satu pengarang terkemuka Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yang bertajuk Bukan Pasar Malam. Di sinilah pengarang yang bereputasi mendunia itu bertutur kisah yang bernuansa religius, tepatnya bermuatan spiritualisme, dengan tokohnya yang harus menerima ketakadilan dalam hidupnya.
Pembaca disuguhi ironi kehidupan bahwa sang pejuang kemerdekaan harus hidup dengan kegetiran, yang tak sebanding dengan pengorbanan yang disumbangkan pada negeri dan bangsanya. Dari sini pembaca bisa berefleksi bahwa keadilan duniawi memang tak selamanya terwujud dalam pengalaman personal tiap-tiap individu.
Baca juga: Rocky Gerung Sampaikan Pidato Kebudayaan di TIM
Baca juga: Rocky Gerung: DPR Harus Dahulukan Akal Konstitusi
Keagungan manusia
Novel pendek lain yang pantas disimak adalah Lelaki Tua dan Laut karya peraih Nobel Ernest Hemingway. Karya fiksi yang boleh dibilang berhalaman tipis ini membersitkan keagungan manusia, yang diwakili nelayan tua Santiago, yang dalam menjaga martabat harga dirinya, berjuang untuk tak mudah mengeluh dalam kepapaan dan kerentaan fisiknya di usia senja.
Dalam cerita itu, suara nurani manusiawi juga terpancar dari Manolin, anak muda yang mengasihi Santiago bak orang tuanya sendiri. Namun, yang membuat nilai tersendiri fiksi Hemingway itu adalah kesanggupan sang pengarang dalam melakukan pelukisan realis dengan obyek terpilih yang memukau.
Jika pembaca yang serius mau meluangkan waktunya untuk menyimak karya-karya yang lebih kompleks alur dan karaterisasinya, karya tetralogi Pramoedya yang ditulis semasa penahanannya di Pulau Buru, bisa mememperkaya batin.
Dalam novel serial inilah Pram mendedahkan aneka watak manusia dalam lanskap politik ketika Indonesia sedang melangkah ke zaman independensi dari penindasan kolonial. Di sana pembaca bisa menyaksikan perempuan ulet yang heroik, di sana pula pembaca dapat menemukan person pengkhianat, yang memilih hidup dengan sarapan roti dan keju meski pun harus meneguhkan hati menyaksikan kepenindasan bangsanya oleh tuan-tuan kolonial yang diabdinya.
Penjelajahan ke jagat fiksi yang eksotik bisa diperoleh lewat membaca Nama Mawar gubahan Umberto Eco, yang berkisah tentang kehidupan di sebuah biara di Eropa di zaman kegelapan.
Hikmah atau pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah yang sudah difilmkan ini?
Satu hal yang pasti, pembaca diajak memasuki episode-episode gelap kehidupan keberimanan di Eropa yang penuh kegairahan dalam
kompetisi untuk meraih hegemoni dalam menafsir kehendak lihai, yang ironisnya melahirkan kepedihan. Pembakaran manusia yang dianggap sesat oleh satu penguasa ordo keimanan tertentu terhadap lawan-lawannya bisa menjadi bahan refleksi saat ini, di Tanah Air, yang sebagian warganya sedang bergairah menuduh lawan-lawan politiknya melakukan penistaan agama.
Dengan membaca Nama Mawar yang sarat dengan dialog tentang eskatologi itu, pembaca bisa memberikan fokus perhatiannya pada sang protagonis: William dari Baskerville. Tokoh inilah yang dilukiskan sebagai manusia yang sadar bahwa kebenaran dalam keberimanan begitu sulit diraih oleh manusia yang mau mengakui kelemahan manusiawinya.
Ketika menjadi salah satu tokoh yang bertugas mengusut kemurnian keimanan orang-orang yang dituduh sesat, William tak pernah sekali pun memberikan penilaian sesat pada yang diusut dan tak satu pun orang yang malang itu dikirim ke tempat pembakaran bagi kaum sesat.
Bagi William, antara mereka yang dituduh sesat dan sang penuduh, perbedaannya sangat kabur bahkan keduanya bisa dibilang serupa. Eco tamapaknya ingin menjadikan William sebagai pahlawan keimanan di masanya.
Tentu seabrek fiksi yang mencerahkan bisa ditemukan dari masa-ke masa, dari segala penjuru wilayah. Dengan demikian membaca fiksi jelas jauh lebih bermanfaat daripada membaca
penggalan-penggalan 1oaks yang melimpah di ruang publik di media sosial.
Baca juga: Menonton film sendirian jadi tren di Korea Selatan
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018