"Pelaksanaan ujian menjadi tidak baik karena anak ketakutan menghadapi alat," kata Hardi di Batam, Kepulauan Riau, Kamis.
Menurut dia, masih banyak siswa yang belum terbiasa menggunakan komputer karena keterbatasan sarana dan prasarana di sekolah, sehingga takut saat harus mengerjakan soal ujian menggunakan komputer.
"Sistem tidak familiar, alat tidak tersedia, tambah kacau anak-anak kita," kata pria yang pernah menjabat Ketua Dewan Pendidikan Kota Batam itu.
Apalagi, pelaksanaan UNBK banyak yang menumpang di sekolah lain. Itu menambah ketidaknyamanan peserta ujian.
Kemudian, pembagian jadwal ujian yang bergantian juga membuat siswa lebih gamang.
"Pembagian `shift` juga, sudahlah mata pelajaran matematika, pakai `shift` pula. Siswa jadi panik. Panik itu membuat daya ingat berkurang, dan daya juang menurun," kata dia.
Sebelum program UNBK diterapkan, DPD sudah mengingatkan agar pemerintah terlebih dulu menyiapkan sarana dan prasananya, cerita Hardi.
Namun, kenyataannya masih banyak pelaksanaan UNBK yang dipaksakan, terbukti dengan adanya sekolah yang menumpang, listrik mati dan sebagainya.
"Dari awal sudah diingatkan, problemnya sarana dan prasarana, bukan anak-anak kita," kata dia.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti kebijakan yang tidak menjadikan hasil UN sebagai tolak ukur utama dalam kelulusan.
Menurut dia, di satu sisi hal itu baik. Namun di sisi lain kebijakan itu menurunkan semangat belajar anak yang menganggap enteng UN.
"Semangat belajar anak jadi luntur. Sekarang bagaimana upaya meningkatan kualitas. Ini menjadi catatan besar orang tua agar sistem belajar anak dalam menghadapi ujian, termasuk ujian lokal agar tetap semangat belajar," kata Hardi.
Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018