Jakarta (ANTARA News) - Nahum Kladit sedang menokok pohon sagu yang usianya kira-kira 10 tahun di Hutan Desa Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (14/3).

Teras batang sagu yang ditokok (dicacah) itu nantinya akan berupa ampas yang bisa dibuat menjadi tepung sagu.

Satu pohon sagu biasanya dimiliki oleh satu keluarga.
Pohon sagu yang sudah dibelah ditokok untuk diambil ela (ampas). (ANTARA News/Monalisa)


Sementara Mama Angelina Kladit sudah siap-siap membawa karung untuk membawa ampas hasil panen. Setelah terkumpul satu karung, ia membawanya ke tempat meramas sagu, tidak jauh dari tempat menokok.

Di sana sudah ada alat untuk meramas ampas batang sagu, alat yang sederhana dari batang kayu.

Ampas yang sudah dikumpulkan disiram pakai air lalu diremas, berkali-kali, sambil disaring. Hasil ramasan dibiarkan mengendap.

Pati hasil ramasan kemudian diambil untuk dijadikan tepung sagu dan diolah menjadi beragam makanan.
Sagu basah dibawa dari hutan untuk diproduksi menjadi berbagai produk makanan. (ANTARA News/Monalisa)


Kini, tepung sagu tidak lagi hanya diolah menjadi papeda (bubur sagu, makanan pokok mereka) atau dijadikan sagu kering untuk dijual.

Biasanya, sagu kering dijual hanya sekitar Rp200 ribu untuk satu tuman atau karung yang isinya 15 kilogram hingga 20 kilogram.

Warga Kampung Sira sudah mulai mengolah sagu menjadi berbagai jenis olahan lain, seperti mi, kue, keripik, dan cendol.

Sagu memang berlimpah di hutan mereka, tetapi selama ini belum bisa meningkatkan perekonomian warga secara signifikan.

"Harapannya dari sagu yang kami olah, penghasilan menjadi bertambah," kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Alfred Kladit saat menemani kami ke hutan.

Alfred baru Desember tahun lalu mendapat pelatihan mengolah sagu menjadi beberapa alternatif makanan. Ia dan beberapa warga dikirim oleh organisasi lingkungan Greenpeace ke Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang dikenal dengan produk sagunya hingga ke Malaysia dan Singapura.

Baca juga: Menengok Hutan Desa pertama di Papua

Belajar mengolah sagu

Hutan di Kampung Sira merupakan bagian dari Hutan Desa Manggroholo-Sira, Sorong Selatan. Warga Kampung Sira berhak atas 1.850 hektar.

Setelah mendapatkan hak Hutan Desa sejak setahun lalu, yang merupakan Hutan Desa pertama di Papua, mereka berupaya meningkatkan perekonomian dari hasil-hasil hutan, termasuk dari sagu.

Mereka berharap bisa mengikuti jejak masyarakat Sungai Tohor, Riau, yang sudah berhasil meningkatkan nilai ekonomi sagu dengan mengolahnya menjadi beragam makanan, bahkan pasarnya sudah meluas ke Malaysia dan Singapura.

"Kami berharap ketika kami bisa mencari pasar untuk masyarakat di kampung Manggroholo dan Sira, program sagu ini bisa secara kontinyu diproduksi oleh masyarakat," kata Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Charles Tawaru, yang selama ini mendampingi warga Manggroholo-Sira.
Olahan sagu yang akan diproses menjadi mi. (ANTARA News/Monalisa)


Salah satu produk dari sagu yang sedang dicoba adalah mi sagu.

Tepung sagu yang dibawa dari hutan, diolah sampai kemudian menjadi mi. Prosesnya sebenarnya tidak begitu rumit. Tetapi alat yang dimiliki warga di Kampung Sira masih untuk skala kecil.

Produk-produk dari sagu yang dibuat masyarakat Kampung Manggroholo dan Sira baru saja dicoba dipasarkan di koperasi kampung "Koperasi Kenamandiri", di Kota Teminambuan, Kota Sorong, dan beberapa sampel di bawa ke Jakarta.

Berikut adalah proses pengolahan sagu oleh warga Kampung Sira:


Pewarta: Monalisa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018