"Sebenarnya seluruh sektor industri kreatif ada di Kota Yogyakarta. Namun, usaha yang sudah terdaftar atau memiliki izin baru mencapai 8,4 persen," kata Dewan Penasihat Indonesia Services Dialogue Mari Elka Pangestu saat menyampaikan hasil Survei Industri Kreatif di Yogyakarta, Rabu.
Berdasarkan hasil survei, para pelaku usaha enggan mendaftarkan usaha atau mengurus perizinan karena proses pengurusan izin masih cukup sulit, membutuhkan waktu lama, dan syaratnya cukup rumit.
Bahkan, lanjut dia, sebanyak 86 persen usaha kreatif di Kota Yogyakarta yang disurvei mengaku tidak ingin mendaftarkan usahanya dan memilih menjadi sektor informal.
Keengganan pelaku usaha kreatif untuk mendaftarkan usaha tersebut, lanjut dia, dapat berdampak pada upaya membangun ekonomi kreatif di Kota Yogyakarta karena pemerintah tidak memperoleh gambaran atau potret yang utuh untuk merumuskan kebijakan.
"Dengan demikian sangat dibutuhkan upaya sosialisasi yang masif dan proaktif serta penyederhanaan birokrasi pengurusan izin," kata Mari.
Selain masih minimnya jumlah usaha kreatif yang berizin, kondisi lain yang ditemukan dari survei tersebut adalah sebagian besar usaha kreatif di Kota Yogyakarta atau sekitar 84 persen masuk dalam golongan mikro karena memiliki pegawai kurang dari 10 orang.
"Hanya sektor aplikasi dan game yang memiliki rata-rata pegawai lebih dari 40 orang," katanya.
Secara umum terdapat tiga sektor unggulan usaha kreatif di Kota Yogyakarta, yaitu kuliner sebanyak 35 persen, kriya 18 persen, dan fesyen 13 persen. "Tiga sektor ini memang sangat mendominasi, karena mendukung Yogyakarta sebagai kota tujuan pariwisata," katanya.
Kepala Bidang Usaha Mikro dan Kecil Dinas Koperasi UKM Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta Tri Karyadi Riyanto mengatakan, hasil survei dari ISD tersebut membantu Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menyusun kebijakan pengembangan usaha kreatif.
"Selama ini, kami memang membutuhkan data yang valid mengenai kondisi usaha kreatif di Kota Yogyakarta. Paling tidak, pada 2019 atau paling lambat pada 2020 sudah harus ada sensus yang dilakukan," katanya.
Tanpa ada data yang valid, lanjut dia, upaya intervensi yang akan dilakukan pemerintah daerah menjadi rancu sehingga dimungkinkan pengembangan usaha kreatif menjadi tidak optimal.
Sedangkan untuk minimnya usaha kreatif yang mengantongi legalitas atau izin, Tri Karyadi menyebut bahwa permasalahan tersebut merupakan permasalahan klise.
"Sebenarnya, pemerintah sudah berupaya untuk mempermudah perizinan. Pelaku usaha bisa mengurus izin di kecamatan karena sudah ada pelimpahan kewenangan," katanya.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018