Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah didesak segera memberantas minuman beralkohol oplosan yang kembali memakan korban, terakhir membuat belasan orang kehilangan nyawa karena mengonsumsi minuman jenis ini di Cicalengka, Jawa Barat.

"Pemberantasan minuman beralkohol oplosan mendesak untuk dilakukan. Namun upaya pemberantasan tidak akan berjalan cepat karena peredarannya berada di pasar-pasar gelap yang sulit dikontrol pemerintah," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Sugianto Tandra, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, perdagangan minuman beralkohol oplosan yang diproduksi industri rumahan dan diperjual-belikan melalui pedagang kaki lima atau warung membuat sirkulasi minuman oplosan tidak mudah dilacak polisi. Sering juga minuman itu dijual dalam plastik biasa.

CIPS di enam kota di Indonesia menyatakan, "Hasil survei CIPS menunjukkan sebanyak 58.7 persen konsumen menyatakan alasan utama mereka mengonsumsi minuman beralkohol oplosan karena harganya murah dan sangat mudah didapat."

Ia mengingatkan bahwa minuman beralkohol oplosan adalah campuran dari bahan-bahan berbahaya dan berisiko menimbulkan kematian, misalnya saja metanol. Konsumsi metanol dapat menimbulkan kejang-kejang, kegagalan organ, hingga kematian.

Tidak jarang ditemukan minuman beralkohol oplosan juga mengandung larutan pengusir nyamuk, sabun, shampo, obat sakit kepala, dan lain-lain.

"Ada tiga kebijakan yang mengatur konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Pertama adalah menaikkan bea impor minuman beralkohol kategori B dan C menjadi 150 persen dari nilai barang yang diimpor," kata dia.

Sedangkan kebijakan selanjutnya pembaharuan daftar bidang usaha yang tertutup terhadap penanaman modal asing atau terbuka dengan persyaratan tertentu, serta kebijakan terakhir adalah larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket. Sejumlah pemerintah daerah juga melarang konsumsi dan perdagangan minuman alkohol.

Pewarta: Muhammad Rahman
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018