Denpasar (ANTARA News) - Koordinator Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU) Maksum Zuber meminta tokoh atau elite politik untuk menghindari perangai olok-olok dalam menyikapi beda pendapat, karena watak seperti itu membuat nama seseorang dan citra bangsa menjadi tersungkur.
"Sangat mungkin orang lain yang mengambil keuntungan dari beda pendapat itu, padahal Bangsa Indonesia itu santun, suka bergotong royong, pemaaf, pejuang yang gigih dan pantang menyerah serta tidak mudah mengeluh," katanya dalam pernyataan sikap yang diterima Antara di Denpasar, Minggu.
Menurut mantan Sekjen PP IPNU itu, hal itu ibarat pepatah yang menyatakan bahwa siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan, tapi siapa yang menabur kebencian akan menuai kebencian, maka introspeksi-lah diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain.
"Kekurangan tertentu orang lain yang dijadikan olok-olok itu belum tentu lebih berat dari kekurangan yang ada pada dirimu. Itu peringatan yang ada dalam Al Quran, karena itu hal penting adalah jangan suka olok-olok, lakukan dialog, dan jangan setiap persoalan disikapi secara SARA," katanya.
Apalagi, para ulama juga sudah mengingatkan untuk tidak terjebak dalam ghibah, fitnah, dan namimah. Ghibah adalah penyampaian informasi faktual dan benar tentang seseorang atau kelompok, namun orang yang dimaksud tidak hadir.
Sementara itu, Fitnah (buhtan) adalah informasi bohong atau tidak benar tentang seseorang dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).
Lain halnya dengan Namimah yang justru lebih dari fitnah, karena Namimah merupakan tindakan adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya, kemudian berdampak pada saling membenci.
Ia menegaskan bahwa masalah beda pendapat dalam syariat atau khilafiyah itu bukan terjadi hari ini saja, bahkan zaman empat mazhab pun sudah terjadi dengan sangat hangat, argumentatif, dan ilmiah, namun tak secuil pun pakai menyalahkan, olok-olok, atau bahkan membodoh-bodohkan.
"Jadi, khilafiyah itu sudah biasa tapi karakter dalam menyikapinya pun tetap manusiawi, seperti Imam Syafii yang beda dengan gurunya, yakni Imam Maliki, namun semuanya berlangsung tanpa sikap sok paling syariat dengan menghakimi, mengkafirkan, hingga saling me-neraka-kan," katanya.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya meneladani orang pada zaman dulu yang bisa berbeda pendapat secara ilmiah tapi tetap saling menghormati.
"Orang dulu suka baca kitab, baca Quran, baca buku, dan melihat semua persoalan secara tekstual dan kontekstual, namun orang sekarang hanya suka baca medsos, tapi cenderung menyamakan kritik dengan hujatan, menyamakan kesalahan dengan caci maki," katanya.
Ia menambahkan jika sikap yang menyalahi karakter bangsa Indonesia itu dilakukan terus-menerus, maka semuanya akan justru membuat bangsa lain bertepuk tangan untuk menanti "kegaduhan" bangsa ini.
"BMNU tidak ingin hal itu terjadi, karena itu kami menyampaikan `warning`, apalagi bangsa ini sangat rentan dengan isu yang bersifat SARA, namun bila tidak hati-hati justru kita akan bertikai sendiri dan orang lain yang memperoleh manfaatnya," katanya.
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018