Semarang (ANTARA News) - Bank Indonesia menyebutkan jumlah pengguna Bitcoin di Indonesia terus melorot tajam dari sekitar satu juta orang pengguna menjadi tinggal 300 ribu pengguna "virtual currrancy" itu.
"Sejak dikeluarkannya pelarangan dari BI, jumlahnya (pengguna Bitcoin, red.) turun drastis," kata Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Ida Nuryanti di Semarang, Kamis.
Hal itu diungkapkannya usai Round Table Discussion bertema "Skimming Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Virtual Currency" di Kantor Perwakilan BI Jawa Tengah, Semarang.
Ida menjelaskan sekarang ini jumlah pengguna aktif Bitcoin di Indonesia hanya tinggal 300 ribuan orang, atau terus menurun seiring dengan turunnya harga mata uang virtual tersebut.
"Harga Bitcoin juga turun drastis dari posisi Rp251 juta/satu Bitcoin, dalam minggu-minggu ini hanya sekitar Rp120-an juta/satu Bitcoin. Kami rasa tidak akan bisa naik lagi," katanya.
Menurut dia, BI tidak melihat sampai terjadinya kasus yang merugikan konsumen untuk melarang Bitcoin, tetapi melalui pemantauan transaksi yang dilakukan terkait mata uang virtual itu.
"Kami melihat transaksinya seperti apa. Sebagaimana disampaikan, transaksinya tidak transparan, tidak ada nama penerima sehingga tidak bisa di-`tracking`, dan tidak ada aspek perlindungan konsumen," katanya.
Artinya, kata dia, apabila sampai terjadi transaksi penipuan dalam penggunaan Bitcoin tidak ada kejelasan konsumen harus mengadu kepada siapa meski secara survei belum menemukan kasus semacam itu.
"Namun, kami lakukan koordinasi dan pencegahan. Kami melarang, bahwa Bitcoin bukan alat pembayaran dan melarang secara tegas semua penyelenggara sistem pembayaran untuk memproses transaksi dengan `virtual cureency`," katanya.
Sementara itu, kepala Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai semakin pentingnya ekonomi digital dalam sistem dan kegiatan perekonomian.
"Sebagai bank sentral sesuai kewenangannya di bidang moneter, sistem pembayaran, dan makro prudential, BI ingin ekonomi digital semakin maju terus. Termasuk, risiko-risikonya," katanya.
Ia mencontohkan imbauan kepada masyarakat mengenai "virtual currency", termasuk Bitcoin bukanlah alat pembayaran yang sah yang dikeluarkan BI pada 2014, kemudian diulangi kembali pada awal 2018.
"Kami lihat dalam beberapa hal secara konsep ada yang tidak `underline`, bisa membuat `bubble`, tidak ada yang mengawasi, dan seterusnya. Kami ingin masyarakat tahu risikonya besar," katanya.
Pelarangan terhadap transaksi menggunakan Bitcoin, kata dia, tidak hanya dilakukan BI, tetapi banyak pihak, termasuk Facebook karena menyadari bisa membahayakan reputasi mereka.
"Harga Bitcoin sekarang kan jatuh pada titik terendah. Kemudian, Facebook, dan segala macam juga larang. Ini cerminan bahwa yang kami lakukan, orang lain sama melihatnya," kata Agusman.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018