Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia meminta penambahan mandat untuk fungsi makroprudensial jika DPR mengajukan inisiatif untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang fungsi dan tugas Bank Sentral.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Kamis, mengatakan di UU Nomor 6/2009 tentang fungsi dan tugas BI yang saat ini menjadi payung hukum, belum tercantum secara spesifik ruang lingkup Bank Sentral di ranah makroprudensial.
"Salah satunya fungsi makroprudensial, yang selama ini belum ada," ujar Dody.
Meski demikian, Dody mengungkapkan bahwa amandemen UU BI di tahun ini memang belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.
Tapi tidak menutup kemungkinan, kata Dody, di pertengahan tahun Prolegnas direvisi dan memasukkan amandemen UU BI, seperti usulan beberapa anggota Komisi XI DPR. Hal itu juga tergantung dari keputusan pemerintah apakah akan mengajukan amandemen UU BI ke Prolegnas.
"Pemerintah yang akan membawa usulan itu ke DPR," ujar dia.
Dody masih enggan merincikan usulan apa saja yang ingin diajukan BI ke pemerintah dan DPR jika payung hukum itu nantinya benar-benar diamandemen.
"Saya tidak bisa lebih jauh lagi, namun fungsi makroprudensial harus ada," ujar dia.
Rencana amandemen UU BI ini bermula dari usulan sejumlah anggota Komisi XI DPR. Komisi bidang keuangan dan perbankan itu mempertanyakan rencana kebijakan propertumbuhan dan prostabilitas yang diusung Gubernur BI terpilih Perry Warjiyo.
Perry yang akan memimpin BI hingga 2023, memang menawarkan kebijakan Bank Sentral yang propertumbuhan ekonomi, namun tetap sejalan dengan mandat utama untuk menjaga stabilitas. Jika dua arah kebijakan itu menjadi orientasi BI, maka menurut sejumlah anggota Komisi XI, BI perlu mengamandemen UU dengan memperluas mandatnya karena saat ini mandat BI hanya menjaga inflasi sesuai target dan mengendalikan nilai tukar rupiah.
Anggota Komisi XI Andreas Edy Susetyo sebelumnya mengingatkan mandat utama BI hanya menjaga inflasi sesuai target dan juga stabilitas nilai tukar.
"Berbeda dengan Bank Sentral AS The Fed, yang memiliki mandat, untuk menambah lapangan kerja," kata Andreas.
Anggota Komisi XI lainnya, Michael Jono, mengatakan Perry jangan melupakan tugas utamanya untuk menjaga nilai tukar rupiah. Hal itu karena selama ini kurs rupiah terus tertekan bahkan ketika BI sudah melakukan intervensi ke pasar valas dan Surat Berharga Negara.
Jika BI ingin berkontribusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dia mempertanyakan, apakah Perry setuju jika Undang-Undang BI Tahun 2009 direvisi dengan memperluas mandat BI.
"Jadi jangan sampai BI tergoda melakukan di luar `core` tugasnya. Untuk stabilitas kurs saja BI masih terpogoh-pogoh," ucap Jeno.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018