Jakarta (ANTARA News) - Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman menyatakan Andi Agustinus alias Andi Narogong sempat marah karena Anang Sugiana Sudihardjo tidak bisa menyetor kembali uang dana KTP-elektronik (KTP-e).
Anang Sugiana diduga berperan dalam penyerahan uang terhadap Setya Novanto dan sejumlah anggota DPR RI melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong terkait dengan proyek KTP-e.
"Sekitar Juli 2012, Pak Giharto lapor sama saya bahwa bahwa Anang tidak bisa lagi menyetor kepada Andi. Saya diminta untuk bertemu bertiga dengan Pak Giharto, Pak Anang, dan Pak Andi," kata Irman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Irman menjadi saksi dalam sidang perkara korupsi KTP-e dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.
Selain Irman, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto juga menjadi saksi dalam sidang Anang Sugiana.
Terkait hal itu, Irman diminta untuk melakukan pertemuan dengan Sugiharto, Anang Sugiana, dan Andi Agustinus.
Irman mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut berlangsung di Rumah Makan China yang berada di kawasan Senayan, Jakarta.
"Di Rumah Makan China di samping Plaza Senayan untuk mencari solusi. Andi minta menagih Pak Anang tidak bisa lagi. Diminta Pak Giharto untuk menengahi di situ. Waktu itu pada pertemuan bertiga itu Pak Giharto bilang tidak ada solusinya sehingga Andi semakin marah sampai dia bilang "ke mana muka saya dibuang ke Pak SN", kalau gitu kita berhenti saja bekerja sama," ucap Irman.
Selanjutnya, Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun mengklarifikasi kepada Irman apakah kenal dan melakukan pertemuan dengan Setya Novanto.
Irman pun menyatakan kenal dengan Novanto dan juga permah bertemu di Hotel Grand Melia Jakarta bersama dengan Sugiharto, Diah Anggraeni, Andi Agustinus, dan Setya Novanto pada Februari 2010.
"Atas inisiatif siapa?," tanya Hakim Franky.
"Itu betul-betul ide Pak Andi karena waktu Andi datang ke ruang kerja saya, saya panggil Pak Giharto, Andi menawarkan bagaimana kalau Pak Irman Pak Giharto saya temukan dengan Pak SN, untuk apa saya bilang, "Pak Irman tidak tahu nih kunci anggaran ada di Pak SN. Komisi II itu nurut saja sama Pak SN". Kalau gitu saya bilang saya diskusi dengan Pak Giharto. Kata Pak Giharto kalau untuk kelancaran ya tidak apa-apa kita hadir saja di Grand Melia," tuturnya.
Irman pun mengatakan terdapat pertemuan kembali dengan Novanto di ruang kerja Novanto di gedung DPR RI membicarakan kembali masalah anggaran proyek KTP-e.
"Ada pertemuan lagi di ruang kerja SN atas inisitaif Andi, saya dihubungi Andi. Kalau di Grand Melia hanya dukungan dari SN untuk anggaran, Andi yang kedua kalinya mengajak saya untuk ke ruang kerja SN untuk memastikan bagaimana anggarannya sudah ada atau belum," ungkap Irman.
"Apa jawaban dari Setya Novanto?," tanya Hakim Franky.
"Jawaban SN ya sedang dikoordinasikan. Terus pada waktu saya mau pamit dia bilang ya sedang dikoordinasikan nanti perkembangannya bagaimana hubungi saja Andi," kata Irman.
PT Quadra Solution merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pelaksana proyek KTP-elektronik (KTP-e) yang terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra.
Realisasi biaya atas pekerjaan barang yang dilakukan oleh PT Quadra Solution dalam pelaksanaan proyek KTP-e adalah Rp1,87 triliun dan mendapatkan keuntungan sejumlah Rp79,039 miliar.
Atas perbuatannya, Anang didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018