Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi menunda sidang lanjutan untuk tiga perkara pengujian UU MD3 yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan dua perserorangan warga negara Indonesia.
Sidang yang seharusnya digelar pada Selasa (3/4) dengan beragendakan mendengarkan keterangan pihak Presiden dan DPR tersebut ditunda karena baik dari DPR maupun dari Pemerintah meminta Majelis Hakim Konstitusi supaya sidang dijadwalkan ulang.
"Oleh karena itu, sidang ditunda sampai hari Rabu, tanggal 11 April 2018, pukul 11.00 WIB untuk mendengar Keterangan Presiden dan DPR," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Selasa.
Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM, Ninik Hariwanti, juga mengatakan bahwa pihaknya masih memerlukan waktu untuk melakukan koordinasi dan penyusunan keterangan.
"Kami juga memohon untuk penundaan sidang, karena kami masih memerlukan waktu untuk melakukan koordinasi dan penyusunan keterangan," ujar Ninik.
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan para pemohon dari ketiga perkara tersebut menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangkan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.
Permohonan uji materi ini diajukan ke MK hanya berselang beberapa hari setelah DPR mengundangkan ketentuan ini.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018