Jakarta (ANTARA News) - Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang meneliti mengenai penerapan teknologi ‘light scattering’ berbasis mikrokontroler yang berfungsi untuk menentukan kadar karet kering.

Teknologi ini perlu dimanfaatkan oleh industri karet alam nasional, khususnya yang mengolah jenis karet alam lembaran atau ribbed smoked sheet (RSS).

“Teknologi tersebut memiliki akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode gravimetri yang lazim digunakan di Indonesia,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara melalui keterangannya di Jakarta, Selasa.

Ngakan menambahkan bahwa Inovasi dari BBTPPI ini juga telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu dari 108 Inovasi Indonesia Prospektif oleh Business Innovation Center dan LIPI.

Ngakan menjelaskan, metode gravimetri dilakukan dengan cara memperbandingkan massa sesudah pengeringan dibandingkan dengan massa sebelum pengeringan.

“Bagi beberapa perusahaan, metode gravimetri dianggap belum cukup akurat untuk menentukan kadar karet kering pada lateks, karena dalam praktiknya, penentuan kadar kering karet masih mengandalkan feeling dari operator,” tuturnya.

Berdasarkan hal tersebut, lanjutnya, diperlukan pendekatan teknologi guna lebih memudahkan. Maka itu, BBTPPI mengembangkan hasil risetnya.

“Teknologi light scattering berbasis mikrokontroler ini juga merupakan metode non-destructive dan tidak menggunakan bahan kimia dalam proses analisanya sehingga lebih ramah lingkungan,” tegas Ngakan.

Teknologi ini juga sudah terverifikasi pada standar ISO 126 : 2005 tentang Method Of Test For Natural Rubber Latex, Determination of Dry Rubber Content.

Menurut Ngakan, kadar karet kering dalam industri karet merupakan salah satu faktor penentu baik tidaknya kualitas suatu lateks.

“Kadar karet kering lateks atau bekuan sangat penting untuk diketahui karena selain dapat digunakan sebagai pedoman penentuan harga, juga menjadi standar dalam pemberian bahan kimia untuk pengolahan karet RSS, thin pale crepes, dan lateks pekat,” paparnya.

Pada pengolahan karet lembaran misalnya, nilai kadar karet kering pun digunakan sebagai dasar dalam menentukan jumlah kebutuhan air pada proses pencairan lateks sampai diperoleh kadar karet baku atau yang standar.

”Bahkan, kadar karet kering menjadi pertimbangan penting dalam penentuan biaya produksi dari karet jenis RSS,” imbuhnya.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pernah menyampaikan, pengembangan industri karet hilir di dalam negeri masih cukup prospektif karena Indonesia merupakan salah satu negara utama penghasil karet alam dengan produksi melebihi tiga juta ton per tahun.

“Apalagi, produksi karet alam nasional masih dapat ditingkatkan mengingat potensi lahan yang ada mencapai 3,5 juta hektare serta didukung oleh program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan baik oleh Pemerintah, institusi pendidikan maupun pihak swasta,” ungkapnya.

Terlebih lagi, adanya kebijakan Pemerintah dalam pembangunan tol laut dinilai menjadi peluang besar bagi industri karet nasional untuk menunjang kebutuhan pembangunan pelabuhan seperti menghasilkan rubber dock fender,rubber floating fender, dan rubber bumper.

Merujuk data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), karet alam menyumbang sebesar 45 persen untuk bahan baku ban.

Produk ban dalam negeri menjadi salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia. Dari total produksi, 70 persen diperuntukkan bagi pasar ekspor dengan nilai mencapai 1,5 miliar dolar AS per tahun.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018