Jakarta (ANTARA News) - Pengamat energi Fabby Tumiwa menyarankan untuk memprioritaskan pembangunan jaringan gas di kawasan permukiman baru dan komplek hunian vertikal.
"Membangun jaringan gas kota terkendala dengan persetujuan warga, pembangunan infrastruktur gas utama, dan stabiltas pasokan gas. Idealnya jaringan gas dibangun di kawasan permukiman baru dan kompleks hunian vertikal," kata Fabby kepada Antara di Jakarta, Senin.
Fabby yang juga menjabat sebagai Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) ini menjelaskan bahwa jaringan gas primer tetap harus dibangun meskipun kendala ketersediaan lahan akan menjadi masalah utama.
"Kalau melihat target yang 1,9 juta sambungan baru plus realisasi dan rencana 2018 baru mencapai 300 ribu sambungan. Saya pikir target RPJMN tersebut sukar tercapai," katanya.
Selain menyoroti ketersediaan lahan, Fabby melihat realisasi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Baca juga: Lhokseumawe dapat tambahan sambungan 2.000 gas rumah tangga
Baca juga: Lebih 10.000 rumah di Mojokerto sudah terhubung jaringan gas
Baca juga: Pemerintah dorong penyambungan gas rumah tangga
Sebelumnya, Mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, menyatakan pembangunan jaringan gas dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan 1,9 juta sambungan rumah tangga terbangun sampai 2019.
Hal ini terkait dengan kegiatan pembangunan jaringan gas bumi rumah tangga tercantum dalam RPJMN 2015- 2019 untuk memenuhi energi bersih murah ramah lingkungan dan efisien, bahkan jadi perhatian presiden dan jadi proyek strategis nasional.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Ditjen Migas telah melaksanakan pembangunan jaringan gas, sejak 2009 sampai dengan tahun 2017 dengan jumlah sambungan sebesar 228.515 Sambungan Rumah (SR) di 15 Provinsi meliputi 32 Kabupaten Kota. Sedangkan 2018, pemerintah membangun 78.315 jargas di 16 kabupaten dan kota.
Pewarta: Afut Syafril
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018