Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam divonis 12 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan korupsi dengan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,59 triliun serta menerima gratifikasi sebesar Rp40,268 miliar.

Majelis hakim yang terdiri atas Diah Siti Basariah, dengan anggota Duta Baskara, Sunarso, Sigit Herman Binaji serta Joko Subagyo juga sepakat untuk menjatuhkan uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah Nur Alam selesai menjalani hukumannya.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Nur Alam secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan kesatu alternatif pertama dan korupsi berlanjut sebagaimana dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 12 tahun dan denda Rp1 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Diah Siti Basariah di di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Selain itu, majelis hakim yang terdiri dari Diah Siti Basariah, dengan anggota Duta Baskara, Sunarso, Sigit Herman Binaji serta Joko Subagyo juga mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk membayar uang pengganti.

"Menjatuhkan pidana tambahan senilai Rp2,7 triliun dengan ketentuan memperhitungkan satu bidang tanah dan bangunan di kompleks Premier, Cipayung Jakarta Timur yang disita dalam proses penyidikan. Apabila terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti tersebut dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya akan disita oleh jaksa ntuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta yang cukup, maka dipidana penjara selama 5 tahun," tambah hakim Diah.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Nur Alam divonis 18 tahun dan pidana denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar.

"Mencabut hak poltik terdakwa selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani hukuman," ungkap hakim Diah.

Nur Alam dinilai terbukti dalam dua dakwaan yaitu dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua yaitu pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dalam dakwaan pertama, Nur Alam sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018 bersama-sama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM provinsi Sultra Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi memberikan persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,5 triliun.

Majelis hakim menolak tuntutan jaksa yang menyatakan perbuatan Nur Alam merugikan keuangan negara sebesar Rp4,325 triliun yang berasal dari kerugian ekologis sebesar Rp2,738 triliun sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian Akibat Kerusakan Tanah dan Lingkungan Akibat Pertambangan PT AHB kabupaten Buton dan Bombana yang terdiri atas biaya kerugian ekologis sebesar Rp1,45 triliun, biaya kerugian ekonomi sebesar Rp1,24 triliun dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp31 miliar.

Hakim hanya menyetujui pendapat ahli Agus Setiawan yang mengatakan hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore sebanyak 9.311.847 wmt sebagai akibat kegiatan pertambangan PT AHB. Jumlah tersebut meliputi nikel ore yang telah terjual sebanyak 7.161.090 wmt dan yang belum terjual (persediaan nikel) 2.078.235 wmt sehingga kerugian keuangan negara atas hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore yang telah terjual sebanyak 7.161.090 wmt atau senilai Rp1,593 triliun yang merupakan keuntungan PT Billy Indonesia.

"Ahli Basuki Wasis tidak dapat membuktikan bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT AHB telah menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungan yang merupakan kerugian keuangan negara," tambah hakim Joko Subagyo.

Awalnya pada 2009, Nur Alam meminta Ikhsan Rifani yang merupakan menantu mantan Gubernur Sultra untuk mencarikan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan seminggu kemudian menemukan perusahaan yang sesuai yaitu PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Ikhsan mengurus surat-surat PT AHB soal permohonan kuasa pertambangan yang memohon pencadangan wilayah pertambangan seluas 3.024 hektar kepada Nur Alam sebagai Gubernur Sultra. Padahal lokasi yang dimohon PT AHB sebagian berada di lokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO). Selain itu wilayah juga sebagian masuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

Nur Alam yang menginginkan PT AHB mendapat pencadangan wilayah lokasi kontrak karya PT INCO melalui surat 10 September 2009 meminta PT INCO melepas sebagian wilayah kontrak karya di blok Malapulu dan ditindaklanjuti PT INCO.

PT Billy Indonesia lalu berencana untuk mengambil alih PT AHB yang sudah mendapatkan IUP Eksplorasi setelah PT AHB mendapatkan dokumen amdal. Pada Mei 2011, PT AHB mulai melakukan penambangan nikel sampai 2014 dan memproduksi sebanyak 7.161.090 wet metric ton (WMT) dan menjualnya ke Richcorp International Ltd dan Well Victory International Ltd di Hongkong senilai Rp2 triliun.

Atas putusan itu, Nur Alam langsung menyatakan banding sedangkan jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.

Terdakwa kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara, Nur Alam (kedua kanan) bergegas meninggalkan ruang sidang seusai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/3/2018). Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara itu divonis oleh majelis hakim pidana 12 tahun penjara serta denda satu juta rupiah subsider enam bulan penjara dan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi memberikan persetujuan izin usaha pertambangan kepada PT Anugerah Harisma Barakah. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018