Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pelemahan atau depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tiga bulan terakhir masih relatif wajar.
Berdasarkan data Bank Indonesia, sejak Januari hingga 26 Maret 2018, secara year to date (ytd) rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS sebesar 1,25 persen.
"Dengan rupiah yang terdepresiasi 1,25 persen, itu betul-betul masih di batas yang wajar. Dan kami sudah tahu bahwa sebetulnya tekanan itu pernah membuat rupiah tertekan hingga 1,6 persen, tapi sekarang sudah kembali ke 1,25 persen," ujar Agus usai peluncuran buku "Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2017" di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu.
Mantan menteri keuangan itu menjelaskan, gejolak nilai tukar rupiah sendiri memang banyak dipengaruhi oleh kondisi eksternal dimana imbal hasil (yield) dari surat utang jangka pendek AS atau treasury bill meningkat dan juga kebijakan perdagangan AS yang akan direspon oleh China.
Nilai tukar rupiah yang dalam dua pekan terakhir berada di kisaran Rp13.700 sampai Rp13.800 per dolar AS, disebut Agus masih wajar dan bank sentral akan senantiasa berada di pasar untuk meyakinkan bahwa stabilitas rupiah dalam batas yang baik.
"Fluktuasi atau volatilitasnya tak akan membuat masyarakat jadi tidak percaya dengan nilai tukar rupiah. Jadi yang ingin saya sampaikan, kalau kemarin ada tekanan kepada rupiah, itu lebih banyak karena dunia sedang menunggu keputusan dari rapat FOMC," ujar Agus.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu mencapai Rp13.745 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp13.708 per dolar AS.
Bank Sentral AS The Federal Reserve pada Rabu (21/3) lalu memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,5-1,75 persen. The Fed juga mengisyaratkan dua kenaikan suku bunga lagi pada tahun ini.
"Kalau nanti Mei, The Fed benar-benar akan menaikkan di bulan Juni, mungkin nanti di Mei akan terjadi lagi volatilitas. Jadi ini adalah hal yang harus kami jalani tetapi secara umum, perekonomian Indonesia masih baik. Stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan dalam keadaan yang baik," ujar Agus.
Kenaikan suku bunga acuan AS sendiri yaitu dengan alasan menguatnya prospek ekonomi dalam beberapa bulan terakhir.Pejabat-pejabat Fed secara luas memperkirakan bahwa ekonomi AS akan tumbuh pada laju yang lebih cepat tahun ini dan tahun depan, didorong oleh stimulus fiskal dan peningkatan permintaan luar negeri.
The Fed memperkirakan, perekonomian AS akan tumbuh 2,7 persen pada 2018 dan 2,4 persen pada 2019, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya, masing-masing 2,5 persen dan 2,1 persen.
Pejabat-pejabat Fed juga memperkirakan inflasi inti akan naik menjadi 2,1 persen tahun depan, sedikit di atas target Fed dan naik dari proyeksi sebelumnya 2,0 persen. Tingkat pengangguran diperkirakan turun menjadi 3,8 persen pada 2018 dan 3,6 persen pada 2019, keduanya di bawah proyeksi sebelumnya 3,9 persen.
Para pembuat kebijakan the Fed masih membayangkan tiga kenaikan suku bunga pada 2018 meskipun prospek ekonomi membaik, menurut rata-rata perkiraan untuk suku bunga. Namun para pejabat Fed memperkirakan tiga kenaikan suku bunga pada 2019 dan dua pada 2020, lebih besar dari perkiraan sebelumnya pada Desember.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed sendiri merupakan kenaikan suku bunga keenam the Fed sejak akhir 2015, dan langkah pertama di bawah Powell, yang mengambil kemudi bank sentral pada Februari 2018 lalu.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018