Jakarta (ANTARA News) - Penanganan ganti rugi kepada korban luapan lumpur di Sidoarjo, Jatim berpacu dengan waktu, karena jika berlarut-larut DPR akan semakin memiliki alasan untuk menggulirkan hak interpelasi baru yang membuka peluang untuk kembali menghadapkan Presiden ke Rapat Paripurna DPR RI. Informasi yang dihimpun di DPR RI di Senayan Jakarta, Rabu, menyebutkan, usul hak interpelasi atas kasus luapan lumpur akan dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR pada 17 Juli 2007. Hal itu telah diputuskan dalam Rapat Badan Musyawarah DPR, pekan lalu. Rapat Paripurna DPR 17 Juli itu akan menentukan sikap DPR apakah hak interpelasi luapan lumpur Lapindo akan disetujui dilanjutkan atau tidak. Jika disetujui, maka DPR akan kembali menentukan jadwal meminta penjelasan dari Presiden melalui rapat paripurna. Wakil Ketua MPR AM Fatwa mengemukakan, seharusnya pemerintah mengambil alih penanganan korban luapan lumpur Lapindo dan tidak membiarkan rakyat terkatung-katung dalam penderitaan yang berkepanjangan. "Memang Lapindo harus diminta tanggung jawabnya, tetapi pemerintah tidak boleh membiarkan nasib begitu banyak rakyat menunggu pada kesadaran, tanggung jawab dan kemampuan PT Lapindo saja," kata Fatwa. Menurut Fatwa, sebagai sebuah badan usaha yang "profit oriented", Lapindo tentu akan berusaha untuk menekan kerugian seminimal mungkin, seperti luas areal lokasi dan banyaknya jumlah korban, untuk menekan besarnya ganti rugi, memperpanjang tenggat pembayaran dan sebagainya. Karena itu, wajar bila di lapangan terlihat adanya proses pembayaran yang berlarut-larut, adanya lokasi yang belakangan terkena lumpur, kesulitan untuk mendapatkan pengakuan dan hak ganti rugi dan kelambatan proses verifikasi data. Namun Fatwa menyatakan, kesabaran dan ketahanan fisik maupun mental ada batasnya. Bila tekanan beban hidup, kekecewaan dan ketidakpastian berkepanjangan, maka akibatnya bisa tak terduga. Apalagi hal ini menimpa korban lumpur yang jumlahnya mencapai ribuan orang. "Sekarang kita telah melihat begitu banyak ragam ekspresi kekecewaan para korban. Ada yang menjadi gila, berdemo memblokir jalan umum, mogok makan, mendatangi DPR, Kantor PT Lapindo, ke Istana Negara, ada pula yang mencari jalan keluar secara individual menjual diri, menjual anak dan lainnya," kata Fatwa. Gema penderitaan mereka terus nyaring sehingga mengundang solidaritas semakin luas. Dampak petaka lumpur Lapindo akan menjadi persoalan serius yang bila saatnya akan menimbulkan guncangan. Menghadapi hal itu, pemerintah tidak boleh menganggap sepi dan menghindari tanggung jawab dengan hanya mengandalkan pada tanggung jawab PT Lapindo saja, tetapi pemerintah harus langsung mengambil alih tanggung jawab tersebut. Fatwa mendesak agar secepatnya diberikan ganti rugi kepada korban sesuai dengan kesepakatan yang dicapai dengan pihak korban dengan menalangi terlebih dahulu dana yang diperlukan. "Konstitusi kita pun mengamanatkan bahwa pemerintah (negara) bertanggjawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Apalagi terhadap korban luapan lumpur yang menjadi miskin dan telantar bukan karena akibat kesalahan mereka, tetapi menjadi korban dari sebuah usaha ekonomi yang dilakukan tentu dengan izin pemerintah dan akan menghasilkan keuntungan ekonomi (bila berhasil) untuk pemerintah juga. Kemudian tentu saja pemerintah harus meminta pertanggungjawaban dari PT Lapindo," kata Fatwa. Hak interpelasi DPR mengenai luapan lumpur itu digagas sejumlah anggota DPR termasuk Jacobus Mayong Padang (PDIP) yang kemudian mendapat dukungan dari anggota DPR lainnya. Presiden yang telah berkantor selama tiga hari di Jawa Timur telah memerintahkan PT Lapindo mengganti rugi tanah dan bangunan kepada korban luapan lumpur. Presiden juga telah menegaskan, pemerintah tidak ada mengeluarkan dana talangan untuk korban lumpur. Pihak Lapindo, melalui Nirwan Bakrie, telah menyanggupi untuk memberi ganti rugi kepada korban. Sedangkan Aburizal Bakrie usai rapat paripurna DPR pada 10 Juli mengemukakan, pihaknya telah memahami persoalan dan sudah memiliki program yang jelas terkait ganti rugi kepada korban. "Kita sudah melaksanakan program-program dan itu semua sudah `clear`," kata Menko Kesra ini.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007