Palangka Raya (ANTARA News) - Titik panas (hot spot) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, perlahan mulai bermunculan di berbagai wilayah di Kalimantan Tengah terutama di areal perkebunan swasta meski jumlahnya masih relatif sedikit. "Sejak awal Juli ini, sejumlah hotspot mulai terpantau di beberapa Kabupaten tetapi jumlahnya masih sangat sedikit dan belum dapat dipastikan apakah benar itu kebakaran atau bukan," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Edy Sutiyarto, di Palangka Raya, Selasa. Dalam catatan BKSDA Kalteng sejak tanggal 4-9 Juli lalu terpantau sekitar 10 hotspot di berbagai perkebunan dan hutan produksi, seperti di PT Paminggir Kabupaten Barito Timur sebanyak dua titik, eks PT Inhutani III dan PT Sarpatim Kab Seruyan tiga titik, eks PT Inhutani III Kabupaten Kotawaringin Barat dua titik, PT Bina Daya Tetra Kabupaten Kotawaringin Timur dua titik, dan satu titik berlokasi di lahan kosong Kabupaten Lamandau. Menurut dia, pihaknya mulai meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah seiring kemunculan titik-titik panas yang terpantau satelit National Oceanic Atmospheric and Administration (NOAA), sehingga bila terindikasi kuat terjadi kebakaran dapat dilakukan upaya pencegahan lebih dini. "Kami sudah menyampaikan hotspot ini ke daerah setempat via fax serta berkomunikasi lewat radio. Namun, daerah masih belum melakukan `ground check` atau turun ke lokasi karena hotspot ini masih berpindah dan timbul tenggelam tiap harinya," katanya. Peninjauan lokasi baru akan dilakukan bila hotspot yang terpantau terus bertahan dalam beberapa hari atau bahkan meluas yang berarti terindikasi kuat terjadi kebakaran hutan dan lahan. Satelit National Oceanic Atmospheric and Administration (NOAA) mendeteksi titik panas pada lahan dengan luasan konstan 1,2 hektar dan suhu 316 derajat Kelvin atau 40 derajat Celcius. Hot spot berbeda dengan titik api (fire spot). Bisa saja hot spot terdiri dari beberapa sumber api, tapi sumber api belum tentu menghasilkan hot spot. Sementara itu, Kepala Badan Pelestari dan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPPLHD) Kalteng, Moses Nicodemus, mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan sekretariat Posko Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan yang akan mengkoordinir segala upaya penanggulangan bencana kebakaran di Kalteng. "Tahun ini kami telah menyiapkan poskonya, sehingga bila diperlukan upaya pemadaman maka akan dilakukan secara lebih intensif dan terkoordinir oleh berbagai regu Damkar (Pemadam Kebakaran) dari berbagai instansi teknis yang ada," jelasnya. Ia menekankan, tiap instansi teknis akan diminta tanggungjawabnya atas terjadinya kebakaran di areal lahan. "Bila terjadi di hutan, maka Dinas Kehutanan yang bertanggungjawab, demikian juga bila di Dinas Perkebunan di areal perkebunan, Dinas Pertanian di lahan pertanian," katanya. Dalam laporan resmi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2006, disebutkan kebakaran tahun 1997 di wilayah itu tercatat sebagai kebakaran terparah sepanjang 20 tahun. Tanah gambut yang dulunya tidak mudah terbakar karena selalu tergenang air, kini sudah menjadi bagian yang sulit dihindari dari api. Kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah, menurut laporan itu, disebabkan oleh pembersihan lahan tidur di sisi jalan dan saluran air/kanal. Penyebab berikutnya adalah pembukaan lahan (land clearing) perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan dan penduduk. Kebakaran hutan dan lahan gambut Kalimantan Tengah pada tahun 2006 lalu mengakibatkan kerugian yang sangat besar dari segi kesehatan masyarakat, sosio-ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup, serta hubungan internasional. Pemantauan kualitas udara mendata Indek Standar Pencemaran Udara (ISPU) pada bulan Oktober 2006 mencapai 1.433, sementara ambang batas berdasarkan PP No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara hanya 100. Pencemaran udara yang sangat dominan adalah partikel-partikel debu, yang kemudian membuat sekitar 61.350 orang di Kalimantan Tengah menderita gangguan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Ditambah lagi terjadinya peningkatan penyakit diare dengan total 6.405 orang. Sementara aktivitas bandara utama di Kalteng yakni Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya juga ditutup total dari semua jenis penerbangan selama satu bulan lebih 10 hari akibat kabut asap pekat yang menghalangi jarak pandang pendaratan pesawat. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007