Jakarta (ANTARA News) - "Assalamu`alaykum!" seru Syeikh Yusuf Estes dengan suara serak namun lantang kepada masyarakat yang telah menanti kehadirannya di Balai Sudirman, Jakarta pada Rabu (21/3) malam.

Malam itu adalah hari terakhir pendakwah asal Texas, Amerika Serikat tersebut untuk menyampaikan ceramah umum dalam rangkaian safari dakwahnya di Indonesia sejak 18 hingga 21 Maret 2018 di Jakarta, Surabaya dan Balikpapan.

Ceramah Yusuf Estes di Jakarta malam itu menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya karena gangguan suara yang dialaminya.

"Suara saya lemah, tapi hati saya kuat," kata Yusuf Estes yang dijuluki "funny sheikh" atau "syeikh yang lucu" itu.

Didampingi oleh Ketua Islamic Propagation Society International (IPSI) atau Masyarakat Dakwah Islam Internasional asal Malaysia, Kamaruddin Abdullah, dan Imam Besar Masjid New York, AS asal Sulawesi Selatan, Syamsi Ali, Yusuf Estes menyampaikan ceramah umumnya yang bertema "the Light of Islam" atau "Cahaya Islam".

Sesekali ulama berusia 74 tahun itu terbatuk-batuk. Di atas meja kecil di hadapannya, ada sebotol air minum dan sebuah gelas. Sebuah gelas "tumbler" berisi kopi juga tersedia di hadapannya. Untuk memulihkan suaranya, Syeikh Yusuf lebih memilih minum kopi ketimbang air putih.

Kopi
"Saya telah menjadi pecinta kopi," ujar Yusuf Estes dalam ceramahnya.

Tak heran jika gelas "tumbler" berisi kopi selalu menemaninya dalam setiap kesempatan, termasuk saat melakukan konferensi pers pada hari ke dua tiba di Jakarta. Bahkan, saat melayani wawancara eksklusif dengan wartawan senior Kantor Berita Antara, Syeikh Yusuf tak lepas dari secangkir kopi.

"Kalian punya kopi yang nikmat," katanya kepada wartawan itu.

Dalam ceramahnya di Jakarta malam itu, dia pun menceritakan kisah tentang kopi.

"Jika saya mengatakan sesuatu, Anda semua tahu apa yang saya bicarakan," kata Syeikh Yusuf.

"Luwak," lanjutnya tersenyum. "Dan saya harus berhati-hati dengan apa yang akan saya katakan setelah itu," katanya lagi dengan jenaka.

"Di Ohio kami membuka pusat kafe dakwah," ujar Syeikh Yusuf.

Dia menjelaskan bahwa kafe tersebut dikelola oleh seorang Muslim asal Somalia. Kafe itu menyediakan berbagai jenis biji kopi dari seluruh dunia.

"Kopi berasal dari Ethiopia. Tapi yang pertama kali menjadikan biji kopi menjadi kopi yang sesungguhnya adalah orang-orang Yaman," jelas Syeikh Yusuf.

Dia melanjutkan bahwa para Muslim dari Yaman yang menggembalakan kambing biasanya terjaga di tengah malam untuk menunaikan shalat.

"Setiap kali terbangun di tengah malam, mereka heran dengan kambing-kambing mereka yang justru berjingkrak-jingkrak setelah memakan pakan kambing yang mereka bawa dari Ethiopia berupa rumput-rumputan," jelas Syeikh Yusuf.

Para penggembala kambing ini kemudian mulai mengolah biji-bijian tersebut dengan cara apa pun. Biji kopi ini dimasak, namun tak menghasikan sesuatu yang lezat, hingga ada seorang dari mereka yang mencoba merebusnya, dan akhirnyanya jadilah minuman kopi yang dinamakan "qahwah".

Syeikh Yusuf juga menceritakan bahwa putrinya yang seorang seniman menggambar sebuah poster yang menggambarkan perjalanan biji kopi dari Ethiopia ke Yaman, kemudian kembali lagi ke Afrika, dan ke Turki.

Dia melanjutkan bahwa nama minuman yang berasal dari Bahasa Arab, "qahwah" telah mengalami perubahan pengucapan menjadi "kafa", "kaffa", dan akhirnya menjadi "kaffe". "Kaffe" kemudian dibawa ke Prancis, sementara orang Inggris menyebutnya "espresso".

Dari kisah inilah, Syeikh Yusuf ingin menegaskan bahwa poster yang menggambarkan perjalanan penemuan minuman kopi oleh para Muslim di Yaman hingga ke Eropa, dan kini menjadi salah satu minuman terpopuler di seluruh dunia akan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal Islam.

Kesan
Safari dakwah Syeikh Yusuf Estes yang difasilitasi oleh Sahabat Dakwah Internasional (SDI) di tiga kota di Indonesia merupakan yang pertama kali digelar. Namun, Yusuf Estes yang memeluk Islam pada tahun 1991 itu pernah mengunjungi Aceh setelah bencana gempa dan tsunami melanda daerah tersebut.

Perjalanan dakwahnya di tanah air ternyata menorehkan kesan yang sangat mendalam di hati ulama besar itu.

"Pertemuan ini memberikan saya gambaran tentang cahaya Islam, tentang keindahan Islam, dan tentang keelokan Indonesia. Saya berharap saya dapat berbicara mengenai hal ini sepanjang malam dengan Anda semua," kata Syeikh Yusuf.

Dia melanjutkan, "Selama 27 tahun saya selalu ingin tahu bagaimana rasanya berada di tempat ini, di mana mereka mengatakan ada populasi terbesar Muslim di dunia. Karena saya ingin melihat bagaimana mereka mengikuti Islam."

Syeikh Yusuf yang dulunya merupakan penginjil juga sangat menghargai kehadiran sejumlah umat non Muslim pada malam itu di Balai Sudirman.

"Menakjubkan! Terima kasih atas kehadiran Anda, terima kasih untuk hadir di sini. Dalam kemanusiaan, Anda semua adalah saudara-saudaraku dari Adam `alaihi salam. Kami berdoa pada Allah untuk memberikan cahaya bagi Anda karena hanya Dia-lah yang memiliki hak itu," seru Syeikh Yusuf.

Di hadapan ribuan masyarakat malam itu, Yusuf Estes mengaku dirinya berat untuk meninggalkan Indonesia.

"Selama sepekan saya di sini, saya bersama kalian, tertawa dan menangis bersama kalian, namun besok saya harus pergi. Dan ini adalah masalah saya, saya tidak ingin pergi. Saya mencintai kalian semua karena Allah," ucapnya.

Dengan mata berkaca-kaca, ulama ini berkata "Ayo kita buat kesepakatan bahwa kita akan mengangkat cahaya Islam sehingga kelak kita akan berjumpa kembali di surga bersama Nabi Muhammad sholallahu `alayhi wa salam. Dapatkah kita melakukan itu? Ini dapat meringankan masalah saya".

Pada penutup ceramahnya, Yusuf Estes sekali lagi mengatakan cintanya kepada masyarakat Indonesia.

Sosok Yusuf Estes juga meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama yang pernah berinterkasi langsung dengan dirinya.

"Sudah 21 tahun saya mengenal Yusuf Estes di Amerika. Dia mendirikan saluran televisi GuideUS TV di mana saya diminta untuk mengisi salah satu talkshow secara `live`," kata Syamsi Ali yang juga merupakan imam pertama di Islamic Center di New York.

Dia menjelaskan bahwa Yusuf Estes adalah tulang punggung dakwah di Amerika Serikat.

Gaya yang unik dalam menyampaikan ceramah mengenai Islam dan sikap yang sangat bersahabat mampu menjawab tantangan dakwah Islam di negeri tersebut, terutama di masa pemerintahan Donald Trump yang kental dengan isu rasisme serta Islam dan Muslim.

Oleh Yusuf Estes, secangkir kopi menjadi pengantar untuk mengenalkan Islam lebih dalam kepada masyarakat.

Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018