Jakarta (ANTARA News) - Kabar eksekusi mati Zaini Misrin, pekerja migran Indonesia di Arab Saudi, pada pekan lalu, mengagetkan banyak pihak.

Zaini Misrin asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur, menemui tajamnya pedang algojo di Arab Saudi pada Minggu (18/3) jam 11.30 waktu setempat, setelah vonis membunuh majikannya.

Bak disambar petir di siang bolong, Pemerintah Indonesia dan perwakilannya di Arab Saudi pun tak pernah menerima notifikasi dari Kerajaan Arab Saudi sebelum pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap Zaini Misrin.

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan hal itu bisa dipahami karena dalam aturan nasional Pemerintah Arab Saudi, tidak ada aturan yang mewajibkan mereka memberikan notifikasi ke perwakilan asing dalam hal dilakukannya eksekusi.

"Namun demikian sebagai dua negera yang memiliki persahabatan yang sangat baik sudah sepantasnya lah Pemerintah Arab Saudi memberikan notifikasi ke Pemerintah RI melalui perwakilannya di Arab Saudi dalam hal akan terjadi eksekusi," kata Iqbal pada acara briefing dengan jurnalis di Jakarta, Senin (19/3).

Terlebih lagi sejak 2015 saat dilakukannya eksekusi terhadap Siti Zaenab, juga pekerja migran Indonesia asal Bangkalan, sudah ada kesepahaman yang dibangun oleh para pemimpin kedua negara. Jika akan diadakan eksekusi lagi pihak Arab Saudi akan memberikan notifikasi kepada keluarga melalui perwakilan RI di Riyadh atau Jeddah, kata Iqbal.

Terkait Mandatory Consular Notification (MCN), sampai saat ini, Indonesia dan Arab Saudi tidak memiliki perjanjian kerja sama di bidang MCN yang mewajibkan kedua belah pihak menyampaikan informasi terkait rencana pelaksanaan hukuman mati. Sebagai catatan, Pemerintah Arab Saudi tidak memiliki kerja sama MCN dengan negara manapun di dunia.

Perlindungan di Luar Negeri

Almarhum Zaini Misrin diketahui secara legal dan prosedural berangkat ke Saudi pada 1992 untuk pertama kalinya dan bekerja sebagai sopir pribadi.

Setelah sempat kembali ke Tanah Air, pada 1996 Zaini berangkat lagi ke Saudi untuk bekerja kepada majikan yang sama sampai terjadinya peristiwa pada 13 Juni 2004 ketika dia ditangkap oleh kepolisian Mekkah atas tuduhan melakukan pembunuhan terhadap majikannya, Abdullah bin Umar.

Pada November 2008 Mahkamah Umum Saudi memutuskan hukuman qisas terhadap Zaini. Segera setelah menerima putusan tersebut, pengacara Zaini mengajukan banding dan dilanjutkan dengan mengajukan kasasi.

Tim perlindungan WNI di KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh pun sekurang-kurangnya telah mengunjungi Zaini di penjara selama 40 kali.

Faktanya, secara hukum Islam siapapun tidak dapat mengintervensi, mencegah eksekusi atau memberi pengampunan, bahkan tidak juga Pemimpin Tertinggi di Kerajaan Arab Saudi Raja Salman bin Abdul Aziz, kecuali ahli waris sang korban itu sendiri.

Pemerintah pun telah memfasilitasi keluarga Zaini untuk berkunjung ke Arab Saudi tiga kali guna bertemu dengan keluarga korban untuk meminta pemaafan terhadap Zaini.

Namun demikian sampai detik terakhir keluarga korban menolak untuk memberikan pemaafan.

Iqbal mengakui bahwa sistem perlindungan WNI di luar negeri pada periode 2004-2010 belum terbangun dengan baik sehingga dalam kasus Zaini Misrin pemerintah tidak bisa memberikan pendampingan dari awal, sejak proses BAP maupun investigasi.

Namun pada kasus-kasus yang muncul sejak 2010, pemerintah sudah bisa memberikan pendampingan dari tahap awal.

Sebagai catatan, pada awal 2017, pengacara Zaini Misrin telah mengajukan Peninjauan Kembali yang pertama namun ditolak.

Kemudian pada Januari 2018, diajukan kembali permohonan PK untuk kedua kalinya.

Pada Februari, KBRI Riyadh memperoleh nota diplomatik resmi dari Kemlu Arab Saudi yang menyampaikan arahan Jaksa Agung Saudi yang mempersilakan pengacara Zaini Misrin untuk menyampaikan permohonan ke mahkamah di Mekkah untuk memanggil dan mendengarkan kesaksian satu dari tiga penerjemah, Abdul Azis, yang menerjemahkan BAP pada kasus Zaini Misrin pada 2004.

Diharapkan kesaksian tersebut menjadi bukti baru yang akan memperkuat permohonan PK yang disampaikan pada Januari tersebut.

Namun eksekusi Zaini Misrin terlanjur dilaksanakan pada saat permohonan PK kedua baru dimulai dan belum mendapatkan kesimpulan akhir, kata Iqbal.

Setidaknya sudah tiga kali isu Zaini Misrin diangkat oleh Presiden RI, satu kali di era SBY, dan dua kali di era Jokowi, dalam pertemuannya dengan Raja Arab Saudi.

Pasca-eksekusi, Kemlu pun telah memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia guna menyampaikan protes resminya terhadap eksekusi yang dilakukan tanpa notifikasi dan mengesampingkan fakta bahwa proses PK masih berjalan.


Perlindungan Bermula di Hulu

Kasus Zaini Misrin merupakan segelintir masalah hukum yang melibatkan WNI di luar negeri.

Data dari Kemlu dan BNP2TKI menunjukkan total jumlah kasus hukuman mati yang melibatkan WNI di seluruh dunia pada 2011-2018 mencapai 538 kasus.

Dari jumlah tersebut, 392 WNI berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati, sementara sebanyak tiga WNI telah dieksekusi.

Hingga saat ini tercatat 188 kasus WNI yang terancam hukuman mati, yaitu 148 di Malaysia, 20 di Arab Saudi, 11 di China, empat di UEA, dua di Singapura, dua di Laos, dan satu di Bahrain.

Hanya sedikit dari jumlah kasus tersebut melibatkan pekerja migran Indonesia, kecuali mereka yang di Arab Saudi, melainkan sebagian besar adalah WNI yang terlibat kasus narkoba.

Pemerintah pun dituntut untuk terus berbenah dalam tata kelola sistem perlindungan WNI-nya terlebih lagi masalah perlindungan WNI menjadi salah satu prioritas Presiden Joko Widodo.

Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker Maruli Hasoloan mengatakan bahwa dibutuhkan tatakelola yang baik di dalam negeri dengan dukungan diplomasi perlindungan di luar negeri untuk menyikapi kasus hukuman mati yang menimpa WNI di luar negeri.

"Perlindungan itu berarti dimulainya dari asal," kata Maruli.

Setelah otonomi daerah, tidak ada hubungan struktural yang jelas antara Disnaker dan Kemenaker sehingga Kemenaker tidak bisa menjangkau disnaker di daerah.

Namun demikian dalam UU No.18/2017 yang disahkan pada November 2017 untuk menggantikan UU no.39/2014 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia diatur dengan jelas pola hubungan antara kemenaker dan disnaker.

"Di dalam Undang-Undang memang disebutkan bahwa perlindungan dan pencegahan itu dimulainya dari desa, dari kabupaten-kota, dari provinsi. Jadi kalau dikatakan tujuannya adalah perlindungan di luar, itu tidak," kata Maruli.

Di dalam negeri sendiri, kesadaran dan pengetahuan sang calon pekerja migran menjadi bekal utama. Kemudian lewat Layanan Terpadu Satu Atap yang dibangun BNP2TKI dan Kemenaker disosialisasikan bagaimana mengikuti prosedur yang baik.

"Mengikuti prosedur yang baik itu artinya perlindungan, kalau tidak mengikuti prosedur yang baik itu berarti mengabaikan perlindungan," kata Maruli.

Kemenaker saat ini sedang menyusun draf Peraturan Pelaksana untuk UU.18/2017 tersebut, kata Maruli.

Di dalam undang-undang tersebut selain ditentukan syarat-syarat penempatan pekerja Indonesia di luar negeri, juga dipertimbangkan misalnya ada tidaknya undang-undang penempatan pekerja asing di negara penerima, perbaikan dan komitmen, serta mekanisme perlindungan yang jelas di negara tersebut sehingga jika ada masalah, tahapan-tahapan perlindungannya jelas, kata Maruli.

Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono mengatakan sejak awal 2017 pemerintah yang melibatkan beberapa kementerian dan lembaga terkait seperti Imigrasi, Kemenaker, Kemenlu, BNP2TKI dan Bareskrim Polri sudah menandatangani MoU dan perjanjian kerja sama untuk memperkuat pencegahan terhadap para tenaga kerja non prosedural.

Hermono mengungkapkan Dari Januari-Desember 2017 Imigrasi telah menolak memberikan paspor kepada sekitar 5.960 WNI karena mereka dicurigai akan bekerja secara non-prosedural.

Kemudian Imigrasi pun sudah menolak untuk memberangkatkan sekitar 1.060 WNI yang diduga akan bekerja ke luar negeri tak sesuai prosedur.

"Upaya yang kita lakukan adalah untuk memperkuat aspek pencegahan karena di sini lah akar permasalahannya," kata Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono, Senin (19/3).

Sementara itu dalam perspektif diplomasi di luar negeri Iqbal menyatakan bahwa tidak ada satu pendekatan yang bisa diterapkan di semua negara untuk menyikapi kasus hukuman mati.

"Masing-masing negara mempunyai sistem yang berbeda sehingga upaya melakukan pembebasan WNI dari hukuman mati tergantung negaranya," kata Iqbal seraya menambahkan bahwa selama ini belum pernah ada WNI yang dihukum mati di luar Arab Saudi.

Baca juga: Elegi Dubes RI di Saudi untuk Zaini Misrin
Baca juga: Wapres: pemerintah sudah usaha maksimal untuk Zaini Misrin

Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018