Jakarta (ANTARA News) - Terungkapnya skandal pencurian data atau "Data Mining" yang melibatkan raksasa media sosial Facebook, dan terakhir turut menyeret perusahaan analisis data Cambridge Analytica, menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat dunia betapa berharganya informasi pribadi yang dituangkan ke dalam ranah dunia maya.
Berdasarkan penelusuran yang berkembang, Cambridge Analytica memanen puluhan juta data pribadi pengguna Facebook di Amerika Serikat dan Inggris telah dicuri sejak 2014, kemudian muncul dugaan bahwa data-data tersebut juga ikut berperan dalam kemenangan Presiden AS Donald Trump dalam Pilpres 2016.
Pada tahun 2014, perusahaan tersebut memperoleh data dari 50 juta pengguna Facebook melalui sarana yang menipu pengguna dan Facebook, sebagaimana yang dilaporkan New York Times dan pengamat dari London pada pekan lalu.
Data tersebut diambil oleh sebuah aplikasi yang dikembangkan oleh seorang akademisi Inggris, Aleksandr Kogan.
Facebook menjelaskan bahwa sebanyak 270.000 orang mengunduh aplikasi dan masuk dengan data pribadi akun mereka. Selanjutnya, aplikasi tersebut mengumpulkan data pribadi serta teman-teman mereka. Berikutnya, data-data ini diteruskan ke Cambridge Analytica oleh Kogan.
Cambridge Analytica mengatakan bahwa pada hari Sabtu bahwa mereka awalnya tidak mengetahui bahwa Kogan melanggar ketentuan Facebook, kemudian diakui telah dihapus setelah diketahui pada tahun 2015.
Meskipun demikian, diketahui bahwa sebenarnya data-data tersebut tidak dihapus, mengutip Reuters. Atas pernyataan ini, Cambridge Analytica mengatakan bahwa dugaan itu tidak benar, sementara Facebook mengatakan bahwa pihaknya sedang menyelidiki untuk memverifikasi keakuratan klaim tersebut.
Hal ini tentu mencurigakan, mengingat setelah Trump memenangi Pilpres AS 2016 dengan bantuan Cambridge Analytica, CEO perusahaan tersebut Alexander Nix pergi ke lebih banyak klien untuk mempromosikan layanannya. Hal ini juga telah dilaporkan Times pada tahun lalu.
Perusahaan tersebut dengan bangga bisa mengembangkan profil psikologis konsumen dan pemilih yang merupakan "resep rahasia" yang bisa digunakan untuk memengaruhi secara lebih efektif daripada periklanan tradisional.
The Guardian menyebut skandal ini sebagai salah satu pembobolan data terbesar perusahaan raksasa IT yang hasilnya dimanfaatkan untuk membuat program perangkat lunak canggih yang bisa memprediksi dan memengaruhi pilihan orang di kotak suara pemilu.
UU Perlindungan
Menyikapi masalah tersebut, pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlunya sebuah Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Temuan tersebut merupakan hal yang sangat mengejutkan dunia, kata Pratama, Rabu (21-3-2018).
Menurut dia, kabar tersebut menyebar setelah ada pengakuan dari internal Cambridge Analytica bahwa mereka mendapatkan data dari Facebook, kemudian klien mereka menggunakannya.
Salah satu klien Cambridge Analytica adalah Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden AS di akhir 2016.
Kabar tak sedap ini membuat saham Facebook turun sebanyak 6,8 persen. Bahkan, diperkirakan akan terus turun.
Selain itu, parlemen Uni Eropa memanggil Mark Zuckerberg untuk hadir di sidang parlemen Uni Eropa di Brussles Belgia, termasuk parlemen Inggris yang tidak mau ketinggalan meminta penjelasan langsung dari Zuckerberg.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) berpendapat bahwa ini momentum yang tepat untuk mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia.
Mengingat bahwa peristiwa Facebook ini menjadi sorotan dunia, dia pun mengingatkan betapa pentingnya agar memperjelas Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang harus segera diselesaikan.
Menurut dia, RUU Perlindungan Data Pribadi harus dikebut. Pasalnya, jika tidak, Indonesia akan kesulitan untuk meminta pertanggungjawaban Facebook karena instrumennya tidak ada.
Berbeda dengan negara-negara Eropa yang langsung mengirimkan undangan kepada Zuckerberg, katanya.
Namun, sayangnya RUU Perlindungan Data Pribadi tidak masuk dalam Prolegnas 2018. Meski DPR dan Kemenkominfo mendorong, Kemenkumham lebih memilih RUU lainnya untuk dijadikan prioritas selesai pada tahun 2018.
Pemerintah, tutur Pratama melanjutkan, juga sedang mengumpulkan data masyarakat, salah satunya lewat KTP elektronik dan registrasi kartu prabayar. Ada juga rencana membagi data tersebut untuk keperluan tertentu, seperti administrasi dan bisnis.
Terkait dengan rencana tersebut, tentu secara bersamaan masyarakat perlu dilindungi dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga apa yang boleh dan tidak menjadi jelas.
Potensi Kecurangan
Dalam kasus tersebut, pemerintah pun tidak tinggal diam. Melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, pemerintah akan menyurati Facebook guna meminta keterangan mengenai penyalahgunaan data pengguna oleh perusahaan analisis data pada pemilu di AS.
Saat ditemui dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Menteri Rudiantara menyampaikan bahwa pihaknya akan mengoordinasikan dengan Facebook sesegera mungkin mengenai hal tersebut.
Namun, pencurian data tidak terjadi di Indonesia meskipun secara logika tidak mungkin data pengguna Facebook di Indonesia juga dibobol karena tidak ada kaitan dengan Pemilu Presiden AS.
Rudiantara menyebut skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook tersebut merupakan suatu proses politik di negara lain.
Sementara itu, menanggapi kemungkinan hal yang sama terjadi di Tanah Air untuk pilkada pada tahun 2018 dan Pemilu Presiden RI 2019, menurut dia, para calon hanya memanfaatkan media sosial untuk berkampanye.
Untuk proses kampanye, kata dia, faktanya bahwa proses politik di Indonesia yang dijalani calon anggota dewan legislatif bisa melakukannya di media sosial karena alasan kecepatan informasi, sementara untuk voting pemerintah baru melakukan uji coba di tingkat desa.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018