Dia adalah Hettie Geenen, kapten perempuan satu-satunya untuk kapal Greenpeace dan mungkin segelintir dari kapten perempuan yang memimpin kapal mengarungi perairan di dunia.
Perempuan asal Belanda itu telah berlayar dengan kapal milik Greenpeace sejak tahun 1999. Sebelumnya, ia berkutat sebagai kapten kapal turis di negara asalnya.
"Saya mulai berlayar sejak usia 14-15 tahun. Saya telah berlayar sepanjang hidup saya. Dan sekarang saya berlayar dengan Rainbow Warrior. Saya pikir saya mempunyai pekerjaan terbaik di dunia," kata Hettie, saat Kapal Rainbow Warrior sedang membuang sauh di Perairan Sorong, Senin (19/3).
Hettie menjadi Kapten Rainbow Warrior sejak dua tahun lalu. Sebelumnya, ia menjadi chief mate selama bertahun-tahun dan menikmati pekerjaannya sebagai mualim I tersebut.
"Tadinya saya tidak pernah ingin menjadi kapten. Saya sangat menikmati pekerjaan sebagai chief mate. Bekerja dengan aktif, berinteraksi dengan banyak orang. Dan kapten adalah tipe pekerjaan yang berbeda," ungkap Hettie.
"Pada suatu hari saya berbincang dengan saudara perempuan saya. Kami membicarakan soal jika saya berusia 80 tahun dan melihat ke belakang, apakah saya bahagia? Saya bilang, ya, saya sangat bahagia dan kemudian saya mungkin ingin mencoba menjadi kapten, untuk tahu apakah saya menyukainya," kata perempuan berusia 56 tahun itu.
Dan Hettie pun menjadi Kapten Rainbow Warrior yang membawahi sekitar 16 kru inti dan tambahan kru lain yang berasal dari berbagai negara.
"Kenapa saya bilang ini merupakan pekerjaan terbaik, karena memang begitu. Berlayar keliling dunia, menyaksikan dan melihat apa yang sedang terjadi di bumi ini," ujar Hettie yang juga pernah menjadi kapten kapal milik Greenpeace lainnya yakni kapal besar Esperanza dan kapal Arctic Sunrise untuk di kutub utara.
Ia melanjutkan, "saya melihat banyak plastik di laut, polusi, karang yang memutih, tetapi saya juga melihat keindahan yang dimiliki bumi ini, keindahan laut. Kita harus melakukan sesuatu. Ini sangat jelas. Dan saya sangat bahagia menjadi bagian kecil, dalam hal ini dengan Greenpeace, untuk dapat benar-benar mendukung komunitas, yang memperjuangkan hak mereka sejak lama."
Bagi Hettie, Kapal Rainbow Warrior bukan sekedar kapal ikonik milik Greenpeace yang bersejarah tetapi sebagai wadah untuk menyuarakan lingkungan, menyuarakan harapan, kepada dunia.
"Saya senang kapal ini bisa memberikan wadah bagi bumi, bagi orang-orang untuk bersuara. Bagi saya itu yang paling penting," ujarnya.
Sebelum bergabung dengan Greenpeace, Hettie tidak terlalu menyadari soal isu-isu lingkungan termasuk perubahan iklim dan kebakaran hutan yang mengancam bumi pertiwi.
Hettie mengambil sekolah maritim. Saat itu, belum banyak murid perempuan yang mengambil sekolah pelayaran.
"Saat itu sekolah mau menerima saya hanya jika ada perusahaan kapal penumpang yang sudah bersedia memberi saya posisi. Begitu pun saat pertama kali saya berlayar, kebanyakan rekan kerja saya adalah laki-laki. Tetapi semakin ke sini, perempuan semakin banyak," tutur Hettie.
Lulus sekolah, Hettie menjadi instruktur dan menjalani profesinya sebagai kapten kapal turis, bekerja setiap hari selama 5-6 jam selama enam bulan dalam setahun, sisanya dia libur saat musim dingin.
"Kemudian saya berhenti, karena saya merasa sudah cukup berlayar dengan turis. Saya ingin melakukan sesuatu yang lebih mempunyai tujuan, kemudian saya bergabung dengan Greenpeace," ungkapnya.
"Berlayar dengan Greenpeace membuat saya merasa melakukan sesuatu yang punya tujuan, sesuatu untuk lingkungan, saya merasa beruntung," ungkap Hettie.
Baca juga: ARTIKEL - "Hutan adalah mama kita, laut seperti ayah kita"
Menyaksikan perusakan lingkungan
Hettie menyaksikan bagaimana lapisan es di Greenland mencair, yang membuat para ilmuwan terkejut.
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Dan para ilmuwan terkejut, glasier seharusnya ada di sana, tetapi tidak. Itu tidak berhenti mencair. Dan kami harus terbang dengan helikopter, dan menyaksikannya," tutur Hettie.
"Begitu pun bagaimana saat melihat plastik-plastik di laut, pemutihan terumbu karang, nelayan yang tidak bisa mendapatkan ikan lagi," tambah Hettie.
Perusakan lingkungan menjadi pemandangan yang kerap ia saksikan selama berlayar. Menurut Hettie, sejak ia berlayar dengan kapal milik Greenpeace pada tahun 1999, kerusakan lingkungan terlihat semakin nyata.
"Kami melihat semakin banyak plastik di laut. Sangat jelas terutama di garis pantai, jika dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Terumbu karang yang pernah saya datangi beberapa kali, semakin memutih, bahkan banyak yang hilang seperti yang terjadi di Great Barrier Reef, Australia," ungkapnya.
Dan perubahan iklim, adalah persoalan lingkungan yang paling membuatnya sedih.
"Perubahan iklim, kamu bisa melihatnya dimana-mana. Dan juga deforestasi," kata Hettie.
Hettie adalah pecinta perabotan yang terbuat dari kayu. Sebelum menjadi aktivis lingkungan, ia membuat banyak perabot dari kayu, profesi sampingannya selain berlayar.
Kemudian ia menyaksikan sendiri deforestasi yang terjadi Hutan Amazon, Brazil, yang benar-benar menyedihkan hatinya.
"Saya sangat suka bau kayu, mengerjakan sesuatu dari kayu. Tetapi sekarang saya sudah tidak mengerjakan sesuatu dari kayu dengan cara seperti dulu. Saya pikir sungguh bodoh harus merusak hutan hanya untuk kayu, membuat perabotan, dan lainnya," jelas Hettie.
"Maka saya tidak mau lagi pakai perabot kayu dari hutan alami. Dan saya juga belajar bahwa deforestasi Indonesia lebih parah dari di Brazil. Ini harus diselamatkan. Karena ini adalah masa depan kita," lanjut dia.
Baca juga: Kapal Rainbow Warrior tiba di Manokwari
Yang dirindukan
Menjadi kapten dan harus berlayar di kapal selama berbulan-bulan tentu tidak selalu mudah bagi Hettie.
"Ini pekerjaan yang sangat fleksibel. Setiap hari tidak pernah sama. Tentu saja tidak selalu mudah untuk jauh dari rumah dan keluarga. Tetapi sebagai pelaut, Anda akan terbiasa," kata Hettie.
Hettie yang memilih dek kapal sebagai tempat favoritnya juga bersyukur karena pasangan hidupnya juga seorang pelaut sehingga membuat segalanya menjadi lebih mudah.
Selain keluarga, Hettie juga merindukan hobinya membuat perabotan serta berolahraga. Ia kesulitan berolahraga di atas kapal.
"Di sini kalau olahraga di helideck, di mana banyak orang-orang lalu lalang. Sementara saya suka tempat yang lebih privat. Ya, saya merindukan itu, juga mendaki atau bersepeda," tutur yang juga suka membaca buku untuk mengusir kebosanan.
Dan meskipun telah berlayar selama puluhan tahun, Hettie juga pernah mengalami mabuk laut. Ia mengingat, mabuk laut yang paling parah saat berlayar di Greenland Selatan dengan Kapal Arctic Sunrise
"Kapal itu merupakan pemecah es sehingga kapal benar-benar dapat bergerak banyak. Saat itu saya masih chief mate, saya benar-benar mabuk. Saya membawa ember ke anjungan kapal. Saya paling tidak suka kalau mabuk laut. Dan saat mengalami mabuk laut, saya berpikir kenapa saya tidak memilih pekerjaan di lepas pantai saja," katanya yang memilih tetap sibuk saat mabuk laut.
Baca juga: Menteri Susi ajak anak dan cucu kunjungi kapal Rainbow Warrior
Keseimbangan
Sebagai kapten Rainbow Warrior, Hettie membawahi belasan kru yang berasal dari berbagai negara di dunia yang kebanyakan adalah laki-laki.
Tetapi Hettie percaya akan keseimbangan, antara laki-laki dan perempuan.
"Kita butuh keduanya, perempuan dan laki-laki. Tidak harus benar-benar 50-50. Di sini pada dasarnya adalah area laki-laki, dan saya pikir selama ada beberapa wanita, atmosfernya menjadi baik untuk bekerja. Saya sangat tidak masalah, jika orang menghormati Anda, tidak masalah jika Anda seorang pria atau wanita," jelas Hettie.
Menurut dia, banyak orang yang terkejut saat melihat seorang kapten perempuan karena belum melihat sebelumnya. Saat ia masih muda, Hettie mengaku pernah dipanggil "Pak" karena memiliki rambut yang pendek. Sejak itu, ia selalu memanjangkan rambutnya, sampai sekarang.
"Saya mungkin memiliki tangan yang kotor, tetapi saya tetap seorang wanita," katanya.
Baca juga: Rainbow Warrior merapat di Raja Ampat
VIDEO:
Baca juga: ARTIKEL - Daniel Bravo Garibi, lindungi bumi lewat makanan
Pewarta: Monalisa
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018