"Sebagai ibu atau ayah menjadi contoh dulu. Kalau saya panggil anak saya dengan santun, ada respek di sana. Ada kasih sayang, perasaan bahwa di rumah ada yang dirindukan. Saat sudah tertanam pada diri anak maka dia akan melakukan itu pada orang lain," ujar Pendidik sekaligus praktisi perlindungan anak dari SEJIWA, Diena Haryana di Jakarta, Kamis (22/3).
Menurut dia, anak cenderung meniru perilaku orangtua dan orang disekeliling mereka. Bila perilaku yang mereka tiru positif, maka cenderung tak mungkin kelak merekpa berperilaku buruk termasuk menjadi pelaku perundungan.
"Anak meng-copy apa yang kita lakukan. Bagaimana bisa menjadi pembully kalau dia mengcopy hal positif ?," kata dia.
Diena menyarankan agar orangtua sebisa mungkin menciptakan lingkungan yang memberi rasa aman dan nyaman untuk anak.
"Rasa aman dan nyaman membuat anak stabil. Hormon kortisol bisa dinetralkan dengan sentuhan. Semakin anak stres semakin otaknya tidak berkembang," tutur dia.
Di samping itu, penting juga memperhatikan cara mendidik yang baik, antara lain tanpa bentakan atau kekerasan.
"Kalau dibentak, karena dia (anak) takut. Dia tidak bisa mikir. Potensi lain untuk belajar tak terbentuk. Guratan di otak kalau isinya mama gampang marah, ya isinya itu. Ini menjadikan anak bisa seperti mamanya," kata Diena.
Secara umum, ada tiga bentuk reaksi anak saat orangtua melakukan kekerasan pada mereka, Pertama, anak menjadi keras seperti orangtua mereka; Kedua, anak menjadi sosok yang ragu-ragu, bahkan tak berani menatap mata orang lain; Ketiga, melarikan diri kehidupan penuh kekecewaan.
"Bisa jua menjadi pasif agresif. Ini bahaya karena tidak kelihatan kalau dia marah. Sampai suatu saat dia bisa menjadi luar biasa menyerang," pungkas Diena.
Baca juga: Menristekdikti: mahasiswa pelaku perundungan bisa dikeluarkan
Baca juga: Empat tips agar tak jadi korban bully dan pembully
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018