Jakarta (ANTARA News) - Perbatasan Korea Selatan dan Utara adalah salah satu wilayah paling sensitif dan paling ketat penjagaannya di dunia.
Korsel dan Korut menarik garis gencatan senjata yang membentang di Semenanjung Korea, dari muara Sungai Imjingang di timur hingga kota Goseong di barat.
Garis gencatan senjata tersebut diapit oleh dua wilayah masing-masing selebar 2 kilometer. Di tempat ini segala kegiatan militer dilarang.
Dikenal sebagai Zona Demilitarisasi (DMZ), wilayah perbatasan kedua Korea itu merupakan suatu wilayah penyangga yang didirikan pada tanggal 27 Juli 1953 ketika Perjanjian Gencatan Senjata ditandatangani kala Perang Korea.
Berbahayakah melintasi wilayah perbatasan itu? Jelas.
Jadi, bagaimana seseorang bisa melintasi area paling dijaga di dunia itu tanpa membuat keributan?
Pada pertengahan Maret, Antara mempunyai kesempatan untuk mengunjungi DMZ di Paju, Korsel, bersama sejumlah jurnalis negara anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia).
Tak perlu mengendap-endap dalam operasi senyap kalau sekadar ingin melihat bagaimana angkernya wilayah perbatasan Korea Selatan dan Utara karena pemerintah Korea Selatan telah membuka DMZ sebagai salah satu tujuan wisata utama di negara Gingseng itu.
Bahkan, brosur-brosur dari agen wisata setempat yang menawarkan tur wisata DMZ disebar di hotel-hotel di Seoul.
Mengikuti tur DMZ menjadi salah satu cara terbaik untuk mendatangi wilayah perbatasan Korea dan mengintip Korea Utara, yang suka berahasia.
Bus yang membawa rombongan jurnalis berangkat dari Seoul yang berada di penghujung musim dingin dan akan memasuki musim semi waktu itu.
Perjalanan menuju kompleks DMZ di Paju ditempuh kurang lebih 1 jam dari ibu kota.
Mendekati tujuan, sepanjang tol menuju Paju dihiasi pemandangan pagar perbatasan dari besi dan kawat dengan latar muara Sungai Imjin.
Setiap beberapa puluh meter di pagar perbatasan tersebut terdapat pos pengamatan yang dijaga oleh personel militer berseragam lengkap dan bersenjata.
Perlu diingat agar jangan sampai lupa membawa paspor ketika ke DMZ karena tentara Korsel akan naik ke bus melakukan pengecekan paspor turis sebelum menyeberangi Jembatan Unifikasi untuk tur DMZ.
Jembatan Unifikasi yang dibuka pada tahun 1998 digunakan untuk pertukaran persediaan antara Korsel dan Korut dan mengunjungi Korut bagi warga yang memiliki keluarga di sana.
Desa Propaganda Korut
Sejumlah tentara Korsel berseragam sedang berbaris di depan atasannya ketika rombongan jurnalis sampai di tujuan pertama yaitu Observatorium Dora.
Mereka nampaknya sudah tak asing dengan kedatangan para wisatawan di DMZ.
Di Observatorium Dora pengunjung bisa menyaksikan secara langsung sebagian wilayah Korut yang membentang luas di depan mata.
Disediakan sejumlah teropong binokular yang bisa diakses dengan koin 500 won untuk melihat lebih dekat desa propaganda Korut, area kota Gaeseong, dan patung perunggu Kim Il-Seong, mantan pemimpin Korut yang meninggal pada tahun 1994.
Tiba-tiba terdengar suatu lagu "folk" yang disiarkan melalui pengeras suara dari desa propaganda Korut sore itu.
"Itu adalah lagu propaganda, kami pun melakukannya dari sini," kata Andrew Kim, warga Korsel yang pernah ditempatkan di DMZ ketika mengikuti wajib militer.
Andrew pernah ditempatkan di General Out Post, di wilayah DMZ lain untuk menjaga area perbatasan sejauh empat kilometer pada tahun 2009 s.d. 2011.
Sebanyak 120 tentara ditempatkan di sana. Setiap tentara diberi jatah senjata, 75 peluru dan sejumlah granat.
"Setiap 1,5 jam kami harus mengecek pagar perbatasan," kata Andrew.
Boleh jadi penjagaan yang ketat di permukaan membuat gentar siapa pun yang ingin menerobos DMZ.
Meskipun demikian, pada tanggal 5 September 1974, militer Korea Selatan mendapatkan informasi intelijen yang berisi laporan tentang tentara Korea Utara yang menggali terowongan sebagai upaya infiltrasi ke wilayah selatan.
Setelah menemukan dua terowongan di lokasi yang berbeda, Korsel menemukan terowongan ketiga di wilayah Paju, yang berjarak sekitar 44 km dari Seoul pada tahun 1978.
Terowongan ketiga tersebut memiliki panjang 1.635 meter menembus lapisan tanah keras sedalam kurang lebih 73 meter di wilayah Paju.
Jalur bawah tanah dengan diameter sekitar 2 meter tersebut menembus Garis Demarkasi Militer sejauh 435 meter ke arah Selatan.
Para ahli menyebut terowongan tersebut didesain untuk bisa dilewati 30.000 tentara Korut bersenjata ringan per jamnya untuk melancarkan serangan tiba-tiba ke Selatan.
Bahkan, rata-rata orang Asia harus menundukkan kepala untuk menyusuri terowongan klaustrofobik yang lembap dan berdinding batuan keras itu.
Sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera ke dalam terowongan tersebut.
Sejak 1974, telah ditemukan empat terowongan yang melintasi DMZ dan diyakini masih banyak terdapat terowongan-terowongan lainnya yang dibangun oleh Korut.
Demikian terlihat betapa kuatnya plot tentara Utara untuk menginvasi Selatan pada waktu itu.
Pengunjung yang memiliki masalah jantung, tekanan darah, dan fobia ruang sempit disarankan untuk tidak turun ke terowongan tersebut.
Menuruni jalur menuju terowongan merupakan perkara yang mudah. Namun, sejumlah turis tampak kelelahan menaiki jalur menuju pintu masuk terowongan.
"Selamat menikmati perjalananmu ketika naik nanti," celetuk salah satu turis asing sambil terengah-engah.
Simbol Unifikasi
Wilayah Korsel dan Korut pernah menjajaki reunifikasi dengan diresmikannya jalur kereta Gyeongui Line, menghubungkan Seoul dan Stasiun Dorasan di Paju pada 2002.
Baru pada bulan Desember 2007, kereta kargo mulai beroperasi dari Dorasan membawa muatan barang ke wilayah industri Gaesung di Korut, dan kembali dengan membawa barang jadi.
Stasiun Dorasan merupakan stasiun internasional paling utara di wilayah Korsel yang terletak sekitar 700 meter dari garis batas selatan DMZ.
Namun, setelah setahun beroperasi, pada bulan Desember 2008, pemerintah Korut menutup jalur perbatasan setelah menuduh Selatan melakukan kebijakan konfrontasi.
Dorasan, yang terletak 56km dari Seoul dan 205km dari Pyeongyang, menjadi simbol terbelahnya Semenanjung Korea dan juga situs untuk rekonsiliasi dan reunifikasi kedua Korea pada masa depan.
Sementar itu, tak jauh dari Dorasan, kehidupan terasa tenang bagi warga Tongilchon, suatu desa yang berada di sebelah utara Civilian Control Line atau garis kendali penduduk di DMZ.
"Pendapatan utama penduduk desa itu berasal dari produk pertanian. Kalian bisa membeli produk-produk mereka ketika sampai di sana," kata Grace, warga Korsel yang membantu menerjemahkan pemandu tur DMZ.
Tongilchon dikenal sebagai Desa Unifikasi yang ditinggali oleh kurang lebih 162 keluarga atau sekitar 450 warga.
Karena terletak di DMZ, tidak sembarangan orang bisa mengunjungi desa tersebut.
Desa itu menjadi pernah saksi bagaimana kedua Korea berseteru.
Di pinggir salah satu jalan utama Tongilchon, terpasang sejumlah patung siluet tentara Korsel yang terbuat dari lembaran besi.
Konon, lokasi tersebut adalah tempat gugurnya sejumlah tentara Korsel ketika perang berkecamuk.
Meskipun menjadi wilayah paling dijaga di dunia, sangat jarang terjadi kontak senjata di DMZ.
Saat ini DMZ menjadi suatu destinasi yang aman yang direkomendasikan kepada para turis di Korsel.
Karena tidak terganggu oleh aktivitas manusia, DMZ serta wilayah sekitarnya, selain memiliki berbagai situs bersejarah, juga kondisi alam yang masih asri.
Baca juga: Lagi, serdadu Korea Utara membelot via DMZ
Baca juga: Prajurit Korut terobos DMZ, membelot ke Korsel
Baca juga: Batas rindu Korea Selatan dan Utara
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018