"Kiblat riset geothermal yang semula Selandia Baru bisa beralih ke Indonesia," kata Agus Hermanto dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Agus mengemukakan hal tersebut setelah menerima pakar geothermal Selandia Baru, Profesor Rosalind Archer di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (20/3).
Indonesia sejauh ini, menurut dia, sudah menjalin kerja sama dengan Selandia Baru dan mendapat bantuan para periset geothermal negara Kiwi itu.
Archer mengakui, sumber energi panas bumi Indonesia sangat melimpah dan kelak bisa menggantikan energi fosil yang akan habis.
Wakil Ketua DPR RI juga mengemukakan bahwa penelitian dan pemboran untuk ekplorasi panas bumi kelak akan dilakukan pemerintah untuk dijadikan dokumen tender, sedangkan pemboran untuk eksplorasi yang berisiko tinggi tak dilakukan lagi oleh pihak swasta atau pemenang tender.
Politisi Partai Demokrat itu menuturkan bahwa dengan penelitian dan pemboran yang dilakukan pemerintah sendiri, diharapkan punya kepastian untuk eksplorasi karena selama ini investor enggan melakukan riset dan pemboran geothermal akibat biaya tinggi dan potensi gagal.
Agus mengingatkan bahwa energi panas bumi selain ramah lingkungan juga merupakan energi yang tidak ada habisnya untuk dieksplorasi, berbeda dengan energi fosil yang diperkirakan bakal habis dalam jangka waktu 50 tahun ke depan.
Sebelumnya, Kepala Badan Litbang ESDM Sutijasto mengungkapkan bahwa hampir 70 persen investasi panas bumi adalah untuk pengembangan hulu.
"Investasi hulu didominasi biaya sumur yang berkontribusi sekitar 70 persen. Artinya peran teknologi pengeboran terdepan sangat krusial untuk meningkatkan keekonomian pengembangan energi panas bumi," ujarnya.
Ia berharap para peneliti setelah mendapat wawasan baru ini, dapat mengembangkan beberapa teknologi inovatif yang dapat mengurangi biaya dalam pengeboran panas bumi untuk mendukung tersedianya energi yang berkelanjutan dan terjangkau di Indonesia.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018