"Cara tersebut akan membuat industri migas mampu bertahan dari ketidakpastian pasar dan gejolak harga minyak," kata Presiden dan CEO Petronas Malaysia, Tan Sri Wan Zulkiflee Wan Ariffin saat berbicara pada Konferensi Teknologi Migas Offshore Asia di Kuala Lumpur, Rabu.
Menurut Zulkiflee, upaya industri migas menurunkan biaya operasi sebagai dampak anjloknya harga minyak dunia sejauh ini sudah berada pada jalur yang tepat.
Industri migas di Asia seperti India, Jepang dan Malaysia, sejak 2014 telah mengubah pendekatan bisnisnya mengikuti tren penurunan harga minyak.
Namun pemulihan harga saat ini dikhawatirkan akan memicu industri migas meninggalkan pendekatan efisiensi.
"Jika hal ini dibiarkan maka segala jerih payah yang telah berjalan selama tiga tahun terakhir akan sia-sia," katanya.
Zulkiflee mengingatkan bahwa keberlanjutan membaiknya harga minyak masih perlu ditunggu.
Menurut dia, berbagai faktor seperti pemangkasan produksi secara sukarela dari produsen minyak OPEC maupun non-OPEC, gangguan pasokan dan peningkatan permintaan khususnya di Asia, bisa mempengaruhi harga.
Dari semua kondisi tersebut Zulkiflee optimistis bahwa Asia tetap akan menjadi kawasan yang dinamis dan pasar yang potensial bagi industri migas.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 persen pada 2017, maka Asia masih menjadi kawasan dengan pertumbuhan tertinggi di dunia, katanya.
Bank Dunia bahkan memprediksi kawasan Asia Timur dan Pasifik mampu tumbuh hingga 6,2 persen pada tahun ini dan ekonomi Asia Tenggara juga ikut tumbuh dengan dukungan pasar domestik.
Proyeksi tersebut akan membuat peningkatan konsumsi energi Asia, dengan penduduk lebih dari empat miliar, lebih tinggi dibandingkan regional lainnya.
"Hasil kajian Petronas menunjukkan ekonomi dunia masih akan bergantung dari energi fosil dimana porsi konsumsi minyak dan gas mendominasi 45-51 persen dari bauran energi global pada tahun 2036," katanya.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018