Jakarta (ANTARA News) - Tanggal 18 maret 2018 Rusia menyelenggarakan pesta demokrasi, pemilu presiden yang ke-7 dalam sejarah Rusia pasca-Uni Soviet.
Pemilu ini menyita perhatian dunia tidak hanya karena ini menjadi penentuan apakah Putin akan berhasil meraih impiannya menjadi Presiden untuk ke-4 kalinya, namun juga karena insiden terkait misteri percobaan pembunuhan terhadap agen ganda ex-KGB Sergei Skripal dan putrinya, Yulia Skripal, di Inggris.
Di tengah-tengah persiapan pesta demokrasi di negaranya, Putin harus menerima tuduhan dari pemerintah Inggris atas keterlibatan dalam usaha pembunuhan tersebut.
Skripal diduga diracun dengan menggunakan racun novichok yang diduga diproduksi di Rusia.
Sementara menjelang hari tenang menjelang pemungutan suara, pesta demokratis itu harus terganggu dengan pengusiran 23 diplomat Inggris sebagai tindakan balasan Inggris yang dianggap kasar dan tidak bersahabat.
Tidak hanya itu, setidaknya ada peretas dari 15 negara yang mencoba meretas situs-situs resmi Rusia termasuk, situs Komisi Pemilihan Pusat (TsIK) Rusia.
Namun berbagai hiruk-pikuk isu dan tekanan di atas rupanya tidak begitu banyak mempengaruhi proses pemilu, dan Putin pun melenggang dengan perolehan suara dominan dan dengan tingkat partisipasi politik yang tinggi mencapai 67,49 persen.
Sementara sebelumnya para analis Barat yakin bahwa tingkat partisipasi politik diprediksi akan mencapai titik terendah di bawah 50 persen, terlebih ketika tokoh oposisi liberal Aleksei Navalny menyerukan boikot pemilu setelah Navalny gagal menjadi salah satu kandidat dalam pemilu presiden.
Pemilu yang diikuti oleh delapan kandidat ini hingga hari ini masih dalam proses penghitungan, namun dari hasil penghitungan suara sementara (99,5 persen), Putin memperoleh 76,66 persen suara, dan bisa dipastikan akan melanjutkan kepemimpinannya untuk enam tahun ke depan hingga 2024.
Perolehan ini jauh mengungguli lawan-lawannya, Pavel Grudinin dari Partai Komunis Federasi Rusia (PKRF) yang menempati posisi kedua hanya mengantongi sekitar 11,8 persen suara, sementara posisi ketiga ditempati politisi kawakan, Vladimir Zhirinovsky (LDPR) dengan 5,66 persen suara.
Sementara itu tokoh-tokoh oposisi liberal seperti Georgy Yavlinksy (dari Partai Yabloko) dan Kseniya Sovchak (Partai Grazhdanskaya Initsiativa) hanya memperoleh suara kurang dari dua persen. Perolehan ini jauh dari harapan gerakan oposisi yang telah dibangun sejak runtuhnya Uni Soviet.
Baca juga: Hasil suara Pemilihan Presiden Rusia
Lemahnya Oposisi
Kemenangan mutlak Putin ini--yang memang telah diprediksi sebelumnya--menunjukkan semakin melemahnya kekuatan oposisi.
Terhitung sejak pemilu langsung digelar sejak tahun 1991, gerakan oposisi di Rusia seperti jalan di tempat dan tidak menunjukkan perlawanan yang signifikan.
Dalam tatanan politik dan ideologi Rusia pasca Uni Soviet, gerakan oposisi bisa dibedakan dalam tiga kelompok.
Pertama adalah oposisi ideologis yang berhaluan kiri, yang berorientasi kepada ideologi sosialis atau komunis, seperti Partai Komunis Federasi Rusia (PKFR), Partai Agraria, Front Kiri, dan Partai Kaum Komunis Rusia (Kommunisti Rossii).
Kedua, kelompok kanan-liberal Yabloko (Yavlinsky), Parnas, Partai Rusia Lain, Otkrytaya Rossiya (Partai Rusia terbuka), partai Progres (pimpinan Navalniy), Persatuan Front Warganegara (pimpinan Gary Kasparov) dan blok-blok politik berhaluan reformis liberal lainnya.
Ketiga, adalah partai pseudo-oposisi seperti Liberal-Demokrat (LDPR) pimpinan Vladimir Zhirinovsky.
Menariknya, Putin maju sebagai kandidat presiden tidak melalui partai Rusia Bersatu, namun memilih melalui jalur independen, dengan mengumpulkan 300 ribu tandatangan.
Ini menunjukkan tingkat percaya diri orang nomor satu Rusia itu, serta perhitungan cermat terhadap kekuatan lawan, termasuk dari kalangan oposisi.
Terkait keputusannya tersebut Putin dalam salah satu konferensi pers pada pertengahan Desember 2017 menyatakan bahwa saat ini belum ada oposisi yang kuat.
Baginya, oposisi adalah menawarkan sesuatu yang lebih baik untuk bangsanya, bukan sekedar meneriakkan rezim antirakyat. Karenanya ia menilai tidak ada oposisi yang kuat yang bisa menawarkan alternatif bagi jalan yang harus ditempuh pemerintah.
Ia pun mengakui ada ketidakpuasan, namun ketika harus membandingkan dan melihat apa yang ditawarkan oposisi, maka akan muncul keraguan akan kemampuan mereka.
Bila ditelusuri lebih seksama, gerakan oposisi Rusia hari ini, adalah merupakan daur-ulang dari kekuatan politik-birokrasi era Boris Yeltsin.
Sebagian merupakan tokoh-tokoh post-power syndrome di era presiden pertama Rusia itu.
Sebut saja tokoh Parnas (Partai Kebebasan Rakyat) Mikhail Kasyanov, mantan Menteri Keuangan era Yeltsin, dan pernah menjadi perdana menteri di periode I pemerintahan Putin (2000-2004).
Parnas sejatinya bermaksud menggabungkan kekuatan-kekuatan oposisi liberal seperti partai pilihan demokratis, partai rusia terbuka (Otkrytaya Rossiya), Drugaya Rossiya (Rusia yg Lain), Partai Progres (Aleksey Navalny), partai Persatuan Front Warga Negara pimpinan mantan pecatur Uni Soviet Gary Kasparov.
Parnas meskipun terdaftar sejak tahun 2002 adalah merupakan daur ulang dari kekuatan-kekuatan politik liberal di era pemerintahan Yeltsin.
Pada tahun 1991 partai ini telah muncul dengan nama Partai Republikan Federasi Rusia (RPRF), yang kemudian disingkat menjadi RPR dan kemudian bergabung dengan koalisi "Rusia yang Lain" dan belakangan mengganti nama menjadi RPR-Parnas, setelah sebelumnya namanya tidak lolos dalam verifikasi di kementerian kehakiman.
Parnas dipimpin oleh tiga orang tokoh liberal yakni Kasyanov, Vladimir Ryzhkov dan Boris Nemtsov (ditemukan terbunuh di jembatan dekat Kremlin akhir Februari 2015). Nemtsov sendiri adalah birokrat di era Boris Yeltsin.
Selain pernah menjabat sebagai Gubernur Nizhniy Novgorod, Menteri Energi, ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri di bawah kepemimpinan Boris Yeltsin.
Setelah tidak menjabat, pada 1999 ia bersama dengan tokoh-tokoh sealirannya seperti Yegor Gaidar, Sergei Kirienko dan Irina Khakamada membentuk blok politik "Persatuan Kekauatan Kanan" (SPS) yang beraliran liberal.
Yegor Gaidar merupakan ideolog dan tokoh penting dalam gerakan liberal Rusia. Ia menjadi Perdana Menteri pertama di era Yeltsin (1991-1992), sementara Sergei Kirienko pernah menjabat sebagai perdana menteri dan merupakan perdana menteri termuda.
Sedangkan Irina Khakamada pernah mencalonkan diri menjadi presiden tapi kalah bersaing dalam pemilu 2004.
Kegagalan satu dekade kepemimpinan Yeltsin seringkali diidentikkan dengan kuatnya lobi oligarkh Yahudi dalam lingkaran dalam (inner circle) Yeltsin, di mana tokoh-tokoh politik liberal di atas terlibat dan diuntungkan.
Cengkraman kuat kelompok oligarki Rusia semasa pemerintahan Boris Yeltsin seiring dengan merosotnya ekonomi Rusia, turut membentuk persepsi negatif terhadap struktur dan tokoh-tokoh birokrasi masa itu.
Karenanya cukup sulit bagi kalangan oposisi ini untuk diterima dan menjadi orang nomor satu di negeri itu.
*) Penulis adalah Doktor ilmu sejarah dan pemerhati Rusia dari Universitas Indonesia
Pewarta: system
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018