Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menyatakan keyakinannya perbankan di Indonesia memiliki daya tahan yang kuat menghadapi krisis akibat penurunanan nilai tukar rupiah seperti terjadi pada 1997 lalu.
"Kalau terjadi lagi krisis nilai tukar yang sangat besar, hanya tiga bank umum dan bank kecil-kecil yang akan mengalami kesulitan, sisanya sekitar 120 bank akan tetap tegar dan tetap bisa melaksanakan tugasnya," katanya di Jakarta, Senin.
Menurut dia, hal ini berbeda dengan tahun 1997 yang merontokkan hampir semua bank yang ada di Indonesia.
"Dari hasil dari `stressed test` yang kita lakukan, daya tahan perbankan kita sangat kuat," katanya.
Namun ia menambahkan bahwa saat ini perlu bagi perbankan untuk terus meningkatkan daya saingnya mengingat kompetisi global yang saat ini tengah berlangsung.
Sementara itu, ia mengatakan krisis ekonomi jauh dari kondisi Indonesia saat ini. Menurut dia ada tiga alasan saat ini tidak akan terjadi krisis ekonomi.
Pertama karena Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) saat ini mengalami surplus, cadangan devisa meningkat dan nilai tukar yang stabil.
Menurut angka sementara BI, NPI pada triwulan II 2007 (proyeksi) mencatat surplus 3,7 miliar dolar AS, lebih tinggi dari perkiraan semula sebesar 1,1 miliar dolar AS, dengan cadangan devisa mencapai 51 miliar dolar AS pada posisi Juni. Sedangkan apresiasi rupiah mencapai 1,5 persen pada triwulan II dibandingkan triwulan I 2007.
Hal ini berbeda dengan kondisi tahun 1997 yang memiliki neraca pembayaran defisit. "Neraca pembayaran adalah cerita yang sangat kronis, republik ini sepanjang sejarahnya NPI surplus 2-3 kali dalam jangka pendek hingga satu tahun," katanya.
Menurut dia, surplus tersebut diperoleh pada saat berkecamuk perang korea tahun 1952 yang diuntungkan karena tingginya harga kopra, tahun 1972 dan 1983 karena "boom" minyak saat itu. "Selebihnya kita mengalami defisit," katanya.
Kedua, ia mengatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikelola dengan baik sehingga defisit dapat dibiayai oleh perekonomian dalam negeri. "Defisit terkelola baik, 0,7 persen - 1 persen (defisit) adalah sesuatu yang bisa di biaya (finance) oleh perekonomian kita. apalgi pelaksanaanya 0,6 persen (defisit)," katanya.
Ketiga, menurut dia secara institusional sudah dilakukan upaya untuk restrukturisasi dan perbaikan kinerja lembaga perekonomian yang lebih baik sehingga berbeda dengan institusi ekonomi tahun.
"Institusi (pada krisis) kelihatanya solid ternyata sangat keropos dan manipulatif, ini yang membuat angka-angkanya (ekonomi) baik ternyata sebaliknya," katanya.
Namun demikian menurutnya, kinerja lembaga ekonomi seperti perbankan harus terus meningkatkan kemampuannya agar mampu bersaing dengan asing.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007