Bogor (ANTARA News) - Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat melakukan pengawasan kualitas air yang dikonsumsi masyarakat terutama di 215 depot air minum yang tersebar di 68 kelurahan.
"Pengawasan ini bagian dari pembinaan Dinkes terhadap pelaku usaha depot air minum, sudah kita lakukan sejak 2015 sampai 2018 ini masih," kata Penanggungjawab Program Pengawasan Air Minum, Seksi Kesehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Asep Suparman kepada Antara di Bogor, Senin.
Asep mengatakan ada dua model pengawasan yang dilakukan yakni pengawasan eksternal dan internal air yang siap diminum dalam hal ini depot air minum.
Pengawasan secara eksternal dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor, sedangkan pengawasan internal melibatkan pengusaha depot air.
Secara eksternal lanjutkan, tahun 2017 lalu Dinkes menyasar 61 depot air minum yang tersebut di 68 kelurahan. Pengujian dilakukan dengan mengambil sampel secara aca dari 61 depot lalu diuji secara laboratorium yang terakreditasi secara baik kimia lengkap dan bakteriologi.
"Secara kimia lengkap hasil pengujian air minum di 61 depot tersebut sudah memenuhi syarat sesuai amanat Permenkes Nomor 492 Tahun 2010," katanya.
Tetapi hasil pengujian secara bakteriologi, dari 61 depot tersebut, sebanyak 31 depot menunjukkan hasil mengandung ecoli.
Menurut Asep hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Fakto pertama berasal dari unsur personal (higienis) dari operator depot. Bisa jadi melayani sambil merokok, tidak mencuci tangan sehingga galon air terkontaminasi.
"Penyebabnya personal higienis dari operator," katanya.
Penyebab lainnya kemungkinan dari alat yang ada di sekian depot, ada filtrasi yang kota atau yang belum diganti. Karena idealnya diganti setiap tiga bulan pemakaian.
"Filtrasi itu setara dengan tiga bulan pemakaian harus diganti. Gunakan untuk menyaring bakteri," katanya.
Faktor lainnya kemungkinan karena sinar UV yang sering dimatikan baik saat ada pembeli ataupun tidak ada pembeli. Seharunya UV dihidupkan selama 24 jam tidak boleh mati.
Ketika sinar UV mati, bisa jadi pipa yang terdapat bakteri mengkontaminasi air sehingga mengandung bakteri.
"Harusnya UV menyala 10 ribu jam atau 13 bulan harus diganti. Fungsi UV untuk membunuh kuman," katanya.
Kemungkinan faktor lain yang menyebabkan bakteri ecoli di depot air minum adalah ketika tangki air baku yang tidak dikuras. Idelanya setiap 50 ribu liter pengisian, tangki air harus dibersihkan, kalau tidak bakteri masih bisa lolos.
Asep menambahkan Dinkes Kota Bogor masih terus mengawasi keberadaan depot air minum berdasarkan faktor-faktor tersebut.
Menurutnya masyarakat harus waspada untuk memiliah-milah depot air minum yang layak sehat untuk dikonsumsi.
"Pastikan membeli di depot air minum yang memiliki stempel hasil pengawasan ekternal dan internal yang dikeluarkan oleh Dinkes. Stiker di tempel setiap depot," katanya.
Jika ada depot yang tidak memiliki stempel hasil pengawasan ekternal dan internal, masyarakat dapat menanyakan langsung ke pemilik depot.
Pengawasan terhadap 215 depot air minum sudah berlangsung sejak 2015 terdapat 30 depot yang diuji, selanjutnya 2016 sebanyak 80 depot, lalu di 2017 sebanyak 61. Total ada 171 depot.
"Tahun 2018 ini kita ada tindaklanjut hasil pengawasan ini mengumpulkan seluruh depot air minum untuk mensosialsiasikan hasil uji laboratorium, serta melakukan pembinaan," katanya.
Selain pemilik depot sosialisasi lintas sektor ini juga mengundang camat, lurah serta Kasi Trantip sebagai aparatur di wilayah yang dapat mengawasi izin usaha depot.
Terkait kasus temuan mikroplastik yang saat ini sedang merisaukan masyarakat, menurut Asep belum ada instruksi dari Kemenkes untuk tindaklanjut. Hanya mendapat informasi dari BPOM yang mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir. Karena kadar aman kandungan mikroplastik belum ditentukan oleh WHO.
Selain itu belum ada konsesus ilmiah mengenai dampak mikroplastik terhadap kesehatan.
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018