Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono bahwa awal April 2018 Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, akan mendeklarasikan pencapresannya dalam Pilpres 2019 tampaknya bisa dipandang sebagai angin segar bagi pematangan berdemokrasi di Tanah Air.
Itu berarti akan terjadi pertandingan kembali antara mantan Panglima Kostrad itu berhadapan dengan petahana Joko Widodo untuk memperebutkan kursi kekuasaan RI1 hingga 2024.
Laga kembali itu pantas disyukuri sebab selama ini sempat beredar spekulasi bahwa Prabowo tak akan maju kembali, yang berakibat terjadinya calon tunggal dalam Pilpres 2019. Selain Prabowo, menurut berbagai jajak pendapat yang independen maupun setengah independen, tak ada figur yang punya elektabilitas cukup signifikan dalam menandingi Jokowi.
Bisa diprediksi bahwa Pilpres 2019 yang hanya diikuti calon tunggal sama sekali kurang memberikan pengayaan pengalaman anak bangsa dalam berdemokrasi yang lazim.
Laga kedua dalam perebutan kekuasaan tertinggi di ranah eksekutif itu bolehlah dianalogikan dengan laga ulang dalam pertandingan sepak bola. Peluang pecundang di laga pertama untuk menang tetap terbuka. Dalam pertandingan bola, susunan pemain yang sama di kedua tim, akan bisa melahirkan hasil akhir yang berbeda untuk laga pertama dan laga kedua, antara lain karena perubahan strategi yang dijalankan sang manajer tim.
Itu sebabnya, dalam laga di Pilpres 2019, strategi masing-masing kubu dalam menentukan siapa cawapres yang akan mereka gandeng sebagai pasangan akan sangat menentukan dalam kemengangan di laga kedua nanti.
Pada laga pertama di Pilpres 2014, sejumlah kalangan menilai bahwa faktor calon wapres yang digandeng Jokowi yakni Jusuf Kalla punya nilai lebih dbandingkan dengan Hatta Rajasa, cawapres yang digandeng Prabowo. Keduanya sama-sama figur dari etnis bukan Jawa namun Jusuf Kalla lebih popular, punya jaringan atau relasi yang lebih luas dan lebih berpengalaman dalam berpolitik.
Tampaknya kubu Jokowi masih berhasrat untuk menggandeng kembali Kalla dalam Pilpres 2019, namun aturan main menjadi kendala karena Kalla telah dua kali menduduki posisi sebagai Wapres.
Dengan demikian, persiapan pertarungan kedua Jokowi versus Prabowo akan menjadi adu kepiawaian memilih cawapres sebagai pasangan masing-masing kubu.
Spekulasi yang sempat muncul ihwal siapa calon yang akan mendapingi Jokowi antara lain tokoh politik yang punya basis dan latar belakang keislaman atau tokoh yang punya latar belakang kemiliteran. Pilihan dua kemungkinan itu untuk mengantisipasi siapa cawapres yang akan diusung oleh Prabowo.
Tampaknya, masing-masing kubu akan merahasiakan kiat masing-masing dengan mengumumkan cawapres mereka sampai detik-detik terakhir tenggat yang ditetapkan KPU untuk mendaftarkan pencalonan mereka.
Kedua kubu pastilah punya informan masing-masing yang berusaha memperoleh info tentang cawapres di kubu lawan. Bagi Prabowo sebagai penantang petahana, pemilihan cawapres boleh jadi tak segenting kubu Jokowi mengingat pemilihan isu sensitif selama kampanye akan lebih bergantung pada apa yang akan menjadi tema pokok yang dilontarkan kubu penantang.
Itu sebabnya tidak berlebihan jika Prabowo menggandeng Anies Bawedan (Gubernur DKI Jakarta) yang merepresentasikan warna keislaman, Jokowi membutuhkan figur cawapres yang punya afiliasi kuat dengan kalangan Muslim. Jika Prabowo menggandeng Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), tak mustahil Jokowi menggandeng cawapres dari kalangan berlatar kemiliteran. Tak mustahil bahwa Agus Harimurti Yudhoyono, putera mantan presiden dua periode yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjadi pilihan.
Kemungkinan terjadinya adu strategi politik semacam itulah yang menjadi daya tarik atau keasyikan dalam laga kedua Jokowi versus Prabowo bila dibandingkan dengan Pilpres yang berlangsung antara petahana melawan politikus selain Prabowo, apalagi melawan kotak kosong.
Sempat ada yang mencemaskan bahwa rivalitas ulang antara Jokowi dan Prabowo akan memperuncing pembelahan politik yang memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa. Kecemasan semacam itu tampaknya berlebihan mengingat pengalaman di laga pertama yang memperlihatkan bahwa pilpres berlangsung damai tanpa kerusuhan.
Meskipun sempat terjadi suasana politik yang tegang karena Prabowo tak segera menerima kekalahannya, pada momen-momen setelah itu Prabowo memperlihatkan kenegarawanannya dan sikap demokratis itu kian dipertontonkan dengan pertemuannya kembali dengan Jokowi sebagai sesama tokoh politik baik di kediamannya maupun di Istana Negara.
Dengan demikian "rematch" Jokowi vesus Prabowo pada Pilpres 2019 bisa menjadi arena pematangan, pendewasaan berdemokrasi yang pentinga bagi publik di Tanah Air. Kalah dan menang tak menjadi poin utama dalam perjalanan bangsa menuju masa depan yang kian demokratis, yang menjadi jalan menuju kemakmuran dan keadilan.
Akhir laga yang damai akan memberikan kemenangan terbesar bagi bangsa Indonesia, yang berarti akan semakin mengukuhkan kebinekaan, pluralitas, dan nasionalisme. Untuk mencapai sasaran itu, jalan paling tepat adalah mengupayakan terjadinya adu program, konsep pembangunan, kebijakan dan bukannya memperuncing perseteruan antaretnis, suku dan agama yang memecah belah selama masa kampanye.
Sebagai masing-masing partai politik pengusung utama capres yang warna utama ideologinya adalah nasionalis, baik PDIP maupun Partai Gerindra agaknya tak menghadapi batu sandungan berarti untuk mengarahkan tema-tema berkampanye yang mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dan kebinekaan.
Dari agumen itulah laga kembali Jokowi versus Prabowo di Pilpres 2019 akan memberikan pelajaran politik berharga demi pematangan berdemokrasi.
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018