Ajang Paralimpiade Musim Dingin PyeongChang 2018 baru saja resmi ditutup dengan upacara pamungkas pada Minggu malam, mengakhiri gelaran pesta olahraga musim dingin di Korea Selatan.
Olimpiade Musim Dingin PyeongChang sangatlah historis khususnya bagi masyarakat Semenanjung Korea karena untuk pertama kalinya Korea Utara dan Korea Selatan bersatu, paling tidak untuk berjuang bersama di arena hoki es.
"Kalian datang ke sini pada momen yang menggairahkan," kata Wakil Menteri Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Yoon Soon-gu kepada ANTARA dan para jurnalis negara anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia) yang diundang ke Seoul pertengahan Maret.
Pemerintah dan warga Korea Selatan sedang memiliki suasana hati yang bagus setelah mereka berhasil menyelenggarakan pesta akbar olahraga kaliber dunia untuk keempat kalinya, setelah sebelumnya menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1988, Piala Dunia 2002 bersama Jepang, Kejuaraan Atletik Dunia 2011, dan kali tahun ini lewat Olimpiade Musim Dingin PyeongChang.
"Kami membuat pembukaan yang besar di dalam hal hubungan antar-Korea dalam kesempatan Paralimpiade dan Olimpiade Musim Dingin ini," kata Yoon.
Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara memiliki masa-masa naik dan turun selama beberapa dekade terakhir.
Tak ada yang menyangka jika tahun 2018 menunjukkan kemajuan substansial terhadap hubungan dua bangsa bersaudara yang terpisahkan di Semenanjung Korea itu.
Masih segar dalam ingatan manakala Pemimpin Korut Kim Jong Un rajin melakukan provokasi lewat uji coba bom nuklir dan rudal balistik mereka pada tahun lalu.
Seorang pejabat Kemlu Korea Selatan menyatakan bahwa Korut telah sedikitnya melakukan 15 kali uji coba rudal balistik pada 2017.
Sementara dari tahun 2006 hingga 2017, tercatat Korea Utara sedikitnya melakukan uji joba nuklir selama enam kali.
Pengembangan bom nuklir mereka dari waktu ke waktu menjadi semakin baik.
Tes nuklir pertama kali Korea Utara memiliki kekuatan hanya 0,8 kilo ton. Hingga pada September 2017, Korea utara berhasil melakukan uji ledak bom hidrogen yang diklaim oleh mereka memiliki kekuatan ledak 50 kilo ton atau bahkan lebih dari itu, jauh lebih besar daripada bom atom yang pernah dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima pada Perang Dunia II yaitu sebesar 15 kiloton.
Banyak yang berspekulasi tentang sejauh mana Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir mereka.
Namun demikian, hal yang menjadi kekhawatiran adalah apakah mereka telah berhasil mengembangkan ICBM atau perluru kendali balistik antar benua.
Apabila iya, maka jika teknologi tersebut digabung dengan bom nuklir, maka senjata tersebut bisa menjangkau daratan Amerika Serikat.
Akan tetapi, teknologi "re-entry" untuk rudal Korut belum terselesaikan dengan baik dan belum bisa diverifikasi, kata pejabat tersebut.
Dialog
Tidak ada petir, tidak ada badai, Kim Jong Un pada pidato awal tahun 2018 tiba-tiba melunak dengan menyatakan keinginannya untuk mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan pihak selatan.
Namun, tetap saja Korut bergeming soal posisi mereka tentang senjata nuklir.
Hingga pada Februari lalu, Kim mengirimkan sejumlah 500 perwakilannya yang terdiri dari delegasi tingkat tinggi, termasuk saudarinya, Kim Yo Jong, atlit dan kelompok pesorak ke Olimpiade PyeongChang.
Kemudian pada awal Maret, 10 anggota delegasi Korsel melakukan kunjungan balasan menemui pemimpin Korut di Pyongyang guna membahas pertemuan antara Korut, Korsel serta AS.
Delegasi Korsel sekembalinya dari Pyongyang melaporkan bahwa Korsel dan Korut telah sepakat untuk menggelar pertemuan tingkat tinggi di Panmunjeom di Zona Demilitarisasi pada April serta memasang hotline bagi kedua pemimpin untuk berkomunikasi.
Korut juga menyatakan kesediaannya untuk berdialog dengan AS terkait isu denuklirisasi dan hubungan AS-Korut.
Delegasi Korea Selatan melaporkan kemajuan tersebut ke Presiden AS Donald Trump, yang kemudian bersedia menemui Kim Jong Un pada Mei nanti.
Pyongyang pun menyatakan siap melucuti senjata nuklir asalkan keamanannya terjamin.
Lalu apakah Korsel optimistis dengan dialog yang akan datang dengan Korut?
"Tak ada yang bisa memastikan, seperti yang banyak ditekankan oleh para jurnalis, kami telah banyak terperdaya. Tapi saya kira sekali lagi ini adalah waktu yang bagus bagi kami," kata Yoon.
Nampaknya ide unifikasi di Semenanjung Korea bukan lah mimpi yang seketika jatuh dari langit.
"Hal itu bukan tujuan kami dalam waktu dekat, masih terlalu jauh. Tugas yang nyata sekarang adalah bagaimana membuat keseluruhan paket bisa sampai ke Korea Utara," kata Yoon.
Korsel masih harus menggapai tujuan bersamanya yaitu denuklirisasi di Semenanjung Korea dan kemudian mewujudkan perdamaian yang permanen di kawasan itu.
"Kami bukan lah yang optimistis, tapi bukan juga yang pesimistis terhadap hasil dari usaha kami," kata Yoon.
Asa Unifikasi
Setidaknya melalui Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin PyeongChang, warga Korsel bisa menyaksikan asa unifikasi dan bertemu dengan saudara mereka yang terpisah jauh dari utara.
"Banyak warga Korea Selatan yang mendukung atlit Korea Utara. Hal itu sangat lah mengesankan," kata Park Sang Yun, seorang sukarelawan di Olimpiade PyeongChang.
"Bahkan sebagai warga Korsel, saya bisa mendekati mereka. Sangat menyenangkan, saya bisa bicara dengan para atlet Korut," kata Park.
Pada Olimpiade PyeongChang, tim Korut bergabung dengan tim Korsel untuk bermain di nomor hoki es perempuan untuk pertama kalinya.
Walaupun tidak pernah memenangi satu pun pertandingan di Olimpiade PyeongChang, tim hoki es perempuan Korut-Korsel lah yang menjadi pemenang di hati warga Korea.
Bahkan, salah seorang anggota senior dari Komite Olimpiade Internasional, Angela Ruggiero, menyebut tim hoki es perempuan Korut-Korsel layak menjadi nominasi peraih nobel perdamaian.
Beberapa pekan kemudian, ketika Paralimpiade PyeongChang pun, semangat unifikasi pun masih kentara.
Rombongan penonton anak-anak bersorak mendukung tim mereka dengan membawa bendera Korsel di satu tangannya serta bendera unifikasi bergambarkan peta Semenanjung Korea berwarna biru dengan latar putih di tangannya yang lain.
Di Korsel, siswa diajarkan tentang pesan dari unifikasi di sekolahnya, tapi bukan suatu hal yang diajarkan secara mendalam, kata Park.
"Saya justru penasaran dengan apa yang ada di benak anak-anak muda. Saya bukan di usia dua puluhan , bukan pula remaja, jadi mereka yang berusia sama dengan saya benar-benar tahu bagaimana isu Korea Utara," kata pria berusia 30-an itu.
"Saya tak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tapi saya berharap semuanya akan baik-baik saja," kata Park.
Terhadap Korut, Korsel pun memperjelas posisi mereka.
Di satu sisi, mereka mengejar resolusi diplomatik terhadap isu nuklir Korea Utara dan penyelesaian denuklirisasi melalui dialog untuk perbaikan hubungan antar-Korea.
Di sisi lain, Korsel bersama sejumlah negara masih menerapkan sanksi ke Korut yang tidak akan dicabut hingga Korut mengambil langkah untuk melakukan denuklirisasi.
Lalu apa yang Korut dapatkan jika mereka melucuti senjata nuklirnya?
Pejabat Kemlu Korsel menyebut bahwa Korut tak akan menghasilkan sesuatu yang produktif dengan mengembangkan senjata nuklir melainkan hanya mendapatkan sanksi dan isolasi dunia internasional.
Jika Korut menyerah dengan program senjata nuklir mereka, "kami akan menyediakan, bersama masyarakat internasional, masa depan yang cerah," kata pejabat itu.
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018