Ratusan mahasiswa di sana yang mendapat kredit mahasiswa memang sedang melakukan penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir untuk penulisan skripsi.
Setiap mahasiswa mendapat pinjaman senilai Rp750.000,-. Saat itu harga mesin ketik baru untuk kualitas atau merk yang cukup memadai seharga sekitar Rp100.000,-.
Dengan memperoleh pinjaman itu, mahasiswa yang tak punya mesin ketik dapat membelinya dan sisa uang pinjaman itu bisa digunakan untuk biaya operasional penelitian seperti transpor selama penelitian, mngurus izin penelitian ke instansi pemerintah di Ibu Kota Provinsi, pembelian buku-buku referensi.
Namun, sayangnya tak semua dana dari kredit mahasiswa itu dimanfaatkan sesuai peruntukannya. Tak sedikit mahasiswa yang menggunakan dana itu untuk membeli motor. Tentu bukan motor baru yang harganya di atas nilai kredit mahasiswa.
Meski pun bisa dibilang tak sesuai peruntukannya, argumen pembelian motor bekas itu pun masih bisa diterima. Dengan memiliki motor, mahasiswa dapat mengatasi masalah transportasi dengan lebih efisien.
Kebijakan positif di era Orde Baru itu tampaknya ingin diwujudkan kembali oleh Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan bertemu dengan petinggi perbankan di Istana Negara belum lama ini, Jokowi mengajak kalangan perbankan untuk memberikan kredit mahasiswa, yang pelunasannya dilakukan setelah mahasiswa lulus dan memperoleh pekerjaan.
Tentu usul Jokowi akan lebih progresif jika kredit mahasiswa itu tak diberikan saat mahasiswa akan melakukan penelitian di semester-semester akhir perkuliahan, tapi pada semester awal perkuliahan.
Dengan jumlah penduduk miskin yang masih belasan juta jiwa saat ini, tentulah tak sedikit anak-anak cerdas dari keluarga kurang mampu yang perlu diberi kredit mahasiswa sejak awal masuk perkuliahan.
Untuk menjamin kepastian pelunasan kredit mahasiswa itu, pemerintah bisa memberikan kredit mahasiswa kepada mahasiswa yang mengambil studi di bidang-bidang yang peluangnya untuk memperoleh pekerjaan cukup besar. Bidang studi kedokteran, akuntansi, kebidanan, keperawatan yang lulusannya masih banyak dibutuhkan oleh pasar ketenagakerjaan perlu mendapat prioritas kucuran kredit mahasiswa.
Kalangan perbankan yang dimiliki pemerintah daerah juga layak didorong untuk terlibat dalam program pemberian kredit mahasiswa itu. Mereka yang dinilai memenuhi syarat memperoleh kredit mahasiswa juga perlu diwajibkan menandatangani kesepakatan untuk mengabdikan diri di daerah.
Dengan demikian kekurangan tenaga kerja tertentu, seperti dokter, perawat, terutama di daerah terpencil, dapat diatasi lewat skema pemberian kredit mahasiswa tersebut.
Dengan pewujudan kembali program pemerintah berupa kredit mahasiswa, ada suasana positif yang terbangun di benak masyarakat miskin. Misal, ada optimisme di kalangan mereka terhadap anak-anak mereka yang tergolong cerdas untuk tidak berputus asa saat menempuh pendidikan jenjang pertama, menengah atau atas.
Selama ini, ada anak-anak cerdas dari kalangan keluarga tak mampu yang memilih berhenti belajar setamat pendidikan jenjang atas karena pesimistik sebelum berupaya ikut tes di perguruan tinggi.
Hadirnya program kredit mahasiswa yang diberikan sejak awal perkuliahan membuat anak-anak cerdas dari keluarga tak mampu itu mempunyai kesempatan untuk berkembang dan maju lebih jauh.
Peringanan biaya kuliah di perguruan tinggi dalam bentuk bea siswa tampaknya tak bisa menutupi biaya operasional keseharian mahasiswa. Hanya dengan kredit mahasiswa yang bisa menutupi biaya keseharian itulah yang memungkinkan anak-anak dari keluarga miskin bisa sintas menyelesaikan kuliah hingga lulus.
Seperti program-program sebelumnya, keberhasilan program kredit mahasiswa sangat bergantung sejauh mana program itu dijalankan sesuai dengan ketepatan sasaran. Jika mahasiswa yang layak mendapat kredit itu memenuhi syarat, tak ada distorsi pemberian kredit mahasiswa.
Namun, jika dalam pelaksanaannya sudah menyimpang dari standar persyaratan yang dibakukan, dari situlah terjadi benih-benih kegagalan program pemberian kredit mahasiswa.
Untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan, pihak perbankan perlu melakukan cek dan cek kembali mengenai kebenaran data-data tentang calon penerima kredit. Pihak perbankan tak selayaknya hanya percaya kepada pihak perguruan tinggi yang menyediakan data tentang calon penerima kredit mahasiswa.
Tiadanya pemeriksaan dan pengawasan yang ketat dari pihak perbankan mengenai data calon penerima kredit mahasiswa yang disodorkan tenaga admistrasi dari perguruan tinggi akan membuka peluang terjadinya penyimpangan.
Tenaga admistrasi di perguruan tinggi akan memberikan sebagian kredit mahasiswa kepada mereka yang punya relasi baik dengannya. Itulah yang pernah terjadi pada era 1980-an saat program kredit mahasiswa diselenggarakan untuk membantu mahasiswa mendapat dana bagi penelitian atau tugas akhir perkuliahan mereka.
Saat itu terjadi distorsi atau penyimpangan target. Mahasiswa yang mestinya layak mendapat kredit untuk menyelesaikan penelitiannya justru tak memperoleh sementara mereka yang tak membutuhkan dana kredit mahasiswa tapi punya hubungan dekat dengan pegawai administrasi perguruan tinggi malah memperoleh dana itu.
Hal semacam ini perlu dicegah dan dihindari ketika usulan Jokowi itu akan direalisasikan dalam dunia pendidikan tinggi. Banyak anak bangsa dari keluarga tak mampu akan mengamini perlunya perbankan mewujudkan program yang dapat mengangkat derajat dan martabat kalangan keluarga miskin di Tanah Air ini, lewat dunia pendidikan tinggi.
(T.M020/B/T007/T007) 17-03-2018 10:43:14
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018