Letaknya di Gunung Tosiba, diapit Gunung Patola di bagian belakang dan Gunung Nakaela di bibir pantai Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.
Buria, begitu negeri atau desa yang mulai dibangun pada tahun 1930-an tersebut dinamakan. Dihuni mayoritas masyarakat penganut Kristen, yang bergereja saban Minggu di GPM Jemaat Pe'niel.
Buria bisa disebut negeri di atas awan karena posisinya terletak di ketinggian 18 kilometer dari permukaan laut, yang bahkan memang lebih tinggi daripada gumpalan awan yang "mengikat" batang gunung pada bagian yang lebih rendah dari permukiman itu.
Saat pagi atau sore, ketika suhu udara sejuk dan dingin menyapa kulit, fenomena tersebut kerap terlihat.
Bapa Leo, sesepuh Buria, menuturkan bahwa dahulunya masyarakat negeri itu menetap di Taniwel.
"Orang tatua (moyang) dolo (dahulu) tinggal di Taniwel. Akan tetapi, karena itu orang pung (punya) tanah, jadi dong (mereka) pindah ka (ke) sini," katanya.
Upaya membuka negeri baru itu tidak mudah. Bahkan, menurut Bapa Leo, warga harus memikul pasir, batu, semen, kayu, dan bahan bangunan lain dari Taniwel, berjarak sekitar 17 kilometer dari Buria.
"Dong lewat jalur air (sungai)," katanya.
Sungai itu, yang konon tidak pernah kering airnya sekalipun kemarau panjang, memang melintas di dasar jurang tepi negeri. Namanya Sapalewa, salah satu bagian dari sejarah dan budaya "Tiga Batang Air" Kabupaten Seram Bagian Barat.
Bercocok tanam
Negeri Buria yang luasnya 39,040 hektare kini didiami 341 KK dengan jumlah populasi 1.618 jiwa. Masyarakat di desa ini umumnya hidup bercocok tanam, mengandalkan lahan tanah yang luas, mulai dari halaman rumah hingga dalam hutan.
Tidak heran, di kiri dan kanan jalan dari Taniwel menuju negeri itu banyak tumbuh pohon buah, mulai dari kelapa, cokelat, kenari, salak, pisang, lemon cina (sejenis jeruk limau), hingga durian.
Durian merupakan salah satu komoditas andalan Buria. Bila musim panen tiba, buah-buah dengan kulit berduri itu diambil pedagang musiman untuk dijual di pasar.
"Durian asal Seram yang dijual di Ambon pun banyak dari sini," kata Wilhelmus, juga sesepuh Buria yang akrab disapa Bapa Emus.
Selain buah-buahan, perekonimian negeri Buria juga bergerak berkat tanaman rempah, yakni cengkih dan pala.
Sama seperti tanaman buah, pohon cengkih dan pala pun tumbuh di tiris-tiris rumah warga.
Kekayaan "emas hijau" itu kini bahkan bertambah setelah ada beberapa pelopor penanam vanili yang ternyata punya kecocokan ditanam di tanah Buria.
"Sekarang banyak yang mau tanam setelah mereka melihat ada yang sekali panen dapat Rp15 juta dan ada yang lebih dari itu," kata pemuda bernama Sandy Batlayeri.
Baca juga: Menkominfo : Jaringan internet Maluku rampung 2019
Memelihara Adat
Sandy Batlayeri bukan pemuda asli Buria. Dia berasal dari Maluku Tenggara Barat yang menikah dengan putri Bapa Leo yang bernama Jelika.
Pernikahan keduanya secara adat dilaksanakan di rumah Bapa Leo pada hari Rabu, 14 Maret 2018.
Prosesi mulai dari maso minta, keluarga Sandy membawa anak mereka itu ke rumah calon mempelai perempuan untuk dipinang menjadi istri.
Seorang tetua adat mengetuk pintu rumah mempelai perempuan dengan mengucapkan kata-kata dalam bahasa Buria, disambut tuan rumah yang membuka pintu dengan bahasa yang sama.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan perbincangan oleh dua orang pemuka adat yang mewakili keluarga kedua mempelai, dilanjutkan dengan sumpah adat untuk pernikahan yang dipimpin oleh Bapa Ot selaku penyuluh adat negeri Buria.
Sebelum kedua calon mempelai dinikahkan secara adat, para tamu dan tuan rumah diwajibkan mengunyah sirih dan pinang kendati yang tidak terbiasa diizinkan hanya menggigit sedikit, lalu membuangnya.
Dalam sambutannya, Raja Buria Gerets Latue yang masih ada hubungan keluarga dengan Bapa Leo menyatakan bahwa upacara adat ini agar kedua mempelai terikat satu sama lain sebagai suami-istri dalam ikatan keluarga yang tidak dapat dipisahkan kecuali oleh maut.
"Jadi, kalau dalam agama Kristen pernikahan itu tidak bisa diceraikan oleh manusia. Demikian pula halnya yang diinginkan dalam sumpah adat ini," katanya.
Setelah sumpah adat selesai, acara dilanjutkan dengan menikmati jamuan makan siang bersama, menyantap kuliner lokal, seperti pisang rebus, talas rebus, papeda, ketupat, lontong, sayur pepaya tumis campur kenari, daun singkong santan, acar, ikan julung kering, ikan julung masak paleu, ikan tatihu (tuna) goreng, dan daging kusu-kusu yang dimasak dengan santan (kare).
Makananan disajikan dalam wadah terbuat dari daun rit sebagai pengganti piring.
Saat jamuan makan berlangsung, seorang bartender menawarkan minuman sopi murni yang disajikan dalam sloki bambu kepada setiap tamu.
Listrik dan jalan
Sama seperti desa-desa atau perkampungan yang berada di pegunungan, Negeri Buria yang berjarak 65 kilometer dari Piru, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Barat itu pun tidak lepas dari masalah infrastruktur, terutama jalan dan penerangan (baca: layanan PLN).
Dua masalah itu cukup menjadi kendala bagi masyarakat desa tersebut, paling tidak di sektor pendidikan dan ekonomi.
"Bagaimana anak-anak di sini bisa belajar dengan baik jika terus mengandalkan pelita saat belajar di rumah pada malam hari," kata Emus.
Menurut dia, pelayanan PLN di desa ini sangat parah. Setiap hari, listrik menyala paling lama 2 jam dan selebihnya mati.
Malam hari, warga pun mengandalkan mesin genset dan minyak tanah untuk obor kecil dari bahan potongan gagang payung rusak sekira 10 sentimeter, kain sumbu, kaleng bekas susu kental manis, dan minyak tanah.
Kondisi itu, kata Emus, sudah berlangsung sejak 1997.
Warga tidak mau membayar tagihan listrik sehingga menunggak jutaan rupiah karena listrik menyala pada waktu menjelang tengah malam. Setelah 1 s.d. 2 jam, mati kembali.
"Kasih manyala jam bagitu par (untuk) apa?" katanya dengan nada suara agak ditekan.
Ia mengaku pernah menawarkan solusi kepada PLN agar warga mau membayar tunggakan.
"Beta saran agar PLN memberi pelayanan 24 jam sementara warga membayar tagihan ditambah cicilan tunggakan, tetapi sampai sekarang tidak ada jawaban, jadi warga juga tidak mau bayar," katanya.
Pernah, kata dia, petugas PLN datang untuk meminta warga membayar tunggakan tetapi dijawab warga dengan melemparkan dirigen minyak tanah dan bensin ke arah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa warga sudah keluar biaya lebih besar karena pelayanan listrik yang teramat minim selama ini.
Selain masalah listrik, warga negeri Buria juga mengharapkan pemerintah daerah untuk mengaspal jalan ke negeri itu. Jalan yang rusak sepanjang kurang lebih 6 kilometer.
Biasanya, saat musim panen banyak pedagang datang untuk membeli hasil kebun dan hutan desa itu. Akan tetapi, sekarang jarang sekali karena kondisi jalan yang parah. Akibatnya, warga harus turun gunung untuk menjual hasil panen mereka. Bahkan, tidak jarang yang membiarkannya membusuk.
Dari sisi tranportasi, angkutan umum tidak ada yang sampai ke Buria sehingga masyarakat mengandalkan ojek motor atau taksi pelat hitam.
Dua masalah yang dihadapi warga Negeri Buria tersebut tentu memerlukan perhatian dan sikap bijaksana dari DPRD dan Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat, termasuk PT PLN selaku BUMN.
Kepedulian pemerintah daerah tentu akan menjawab tantangan Nawacita, membangun dari desa ke kota, termasuk di dalamnya mewujudkan kampanye besar "BUMN Hadir untuk Negeri".
Pewarta: John Nikita S
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018