Jakarta (ANTARA News) - Bangsa-bangsa asing mengakui bahwa kearifan lokal yang dimiliki Indonesia terbukti mumpuni dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga itu harus terus dipupuk selain terus memperkuat ideologi kebangsaan yaitu Pancasila.
“Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya,” kata salah seorang anggota kelompok ahli BNPT Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai di Jakarta, Jumat.
Bangsa Indonesia yang memiliki peradaban, kultur, bahasa yang beragam dengan cirinya masing-masing, semua bisa saling menghormati dan menghargai. Bahkan bangsa-bangsa asing juga memuji Islam Indonesia yang toleran, kata Ansyaad yang juga mantan kepala BNPT, seperti dikutip dalam siaran pers.
Ia mencontohkan, misalnya tiba-tiba seluruh Indonesia diharuskan memakai pakaian adat Jawa seperti kemben, lalu bagaimana dengan orang Bali, Papua, Kalimantan, Sumatera, dan lain-lain. Tentu itu sama saja dengan pemaksaan kehendak. Tapi di Indonesia itu tidak terjadi.
“Kalau itu dipaksakan pasti akan terjadi benturan. Jadi sifat saling hormat dan menghormati ini adalah kearifan lokal yang dahsyat dalam memerangi ideologi transnasional, terutama yang ingin memecah belah Indonesia, terutama menggunakan dalil agama,” katanya.
Contoh lainnya, lanjut Ansyaad, masuknya agama Islam ke Indonesia juga tidak dengan perang. Itu terjadi karena ulama yang membawa Islam ke Indonesia sangat menghormati kearifan lokal dan berdakwah lewat wayang, kesenian setempat, dan sangat menghargai adat istiadat warisan leluhur.
“Kita harus kembali ke situ. Intinya, jangan memaksakan, apakah pikiran, budaya, cara berpakaian, penampilan fisik, apalagi agama. Kalau dipaksa pasti terjadi benturan. Kalau itu terjadi, maka paham-paham transnasional, terutama yang radikal, akan mudah masuk dan memperkeruh suasana,” tutur Ansyaad.
Di dunia, memerangi paham radikalisme menjadi agenda utama, khususnya di negara-negara Islam di Jazirah Arab. Dan, Indonesia dinilai sebagai negara yang cukup berhasil meredam paham radikal itu dengan ajaran islam Indonesia dan kearifan lokalnya.
Itu dibuktikan dengan kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia yang salah satu agendanya adalah memperkuat kerja sama penanggulangan terorisme.
Namun, kata Ansyaad, kondisi itu justru diputarbalikkan oleh kelompok radikal, dengan selalu mengatakan bahwa semua-semuanya kita harus belajar dari Arab. Padahal, ulama dan cendekiawan Arab yang pernah ditemuinya justru memuji kehidupan beragama di Indonesia.
Mereka kagum dengan Indonesia karena bisa damai meski terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan budaya. Beda dengan negara-negara Arab, meski sama-sama beragama Islam, mereka tetap terlibat perang dan saling bunuh.
Ironisnya, terang Ansyaad, selama ini, kelompok radikal selalu ‘mengagung-agungkan’ apa-apa yang berbau Arab dan Timur Tengah. Padahal, di Arab sendiri, kelompok radikal juga ditangkapi.
“Ini penting demi perdamaian dan kejayaan Indonesia. Apakah kita mau seperti Suriah atau Irak? Dua negara itu hancur karena paham khilafah yang dibawa ISIS, juga karena perang saudara karena perbedaan madzhab (aliran),” pungkas Ansyaad Mbai.
Baca juga: Kepolisian Australia terkesan dengan penanggulangan terorisme di Indonesia
Pewarta: Suryanto
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018