Jakarta (ANTARA News) - Malaikat Maut menjemput, ajal mengakhiri segala kemeriahan dan keriuhan tepuk tangan yang diterima oleh fisikawan legendaris dunia, Stephen Hawking, setelah sebelumnya ia memproklamasikan kepada dunia, bahwa tidak ada tempat bagi Sang Pencipta.
Alam semesta, yang berumur kurang lebih 15 miliar tahun, kemudian diklaim oleh Hawking sebagai tidak mempunyai awal, karena itu Dia yang Mencipta Dunia tidak berperan apa-apa. Sang fisikawan seakan mengamini untuk menjawab tiga pertanyaan mendasar, kapan dan bagaimana alam semesta bermula? Mengapa kita manusia ada di dunia? Bagaimana campur tangan Tuhan dalam rancang agung alam semesta?
Tiga pertanyaan besar itu meledakkan peneguhan bahwa Hawking dalam bukunya berjudul "A Brief History of Time" telah melompat kepada kesimpulan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal dengan peristiwa agung bernama Big Bang, karena sudah berada sejak selama-lamanya.
Ironisnya, Big Bang terbesar dan terdahsyat justru dirasakan secara pribadi oleh Hawking yang menghadap Sang Pemilik Ruang dan Waktu dalam peristiwa kematian. Dalam perjalanan usia 76 tahun, ahli kosmologi asal Britania Raya itu wafat di rumahnya di Cambridge, pada Rabu waktu setempat.
Kematian itu dialami secara pribadi oleh setiap orang, tidak terkecuali oleh Hawking yang mengamini kalimat yang terpampang di pintu gerbang makam, "Hari ini kami, besok engkau." Maut yang dimiliki sebagai kuasa prerogatif Tuhan seakan merontokkan dan meruntuhkan teori para fisikawan kontemporer.
Dari Albert Einstein sampai Hawking sama-sama membangun teori tentang alam semesta. Seakan sedang membangun menara Babel dengan mengandalkan akal budi, para ahli kosmologi menemukan indikasi bahwa alam semesta (tampaknya) muncul dari peristiwa semacam Big Bang.
Istilah Big Bang diberikan oleh astronom Fred Hoyle. Ia memunculkan bayangan tentang alam semesta yang mengembang dari sebuah titik, kemudian diikuti penurunan temperatur dan kerapatan.
Nama Big Bang bukan tanpa masalah, dengan ditemukannya singularitas. Tidak perlu gusar, singularitas kini masih banyak diperdebatkan. Para ahli fisika menafsirkan singularitas bukan sebagai sesuatu yang ada dalam alam melainkan berhubungan dengan daya pengetahuan manusia ketika memahami dan menelaah alam semesta.
Hawking merayakan teori Big Bang dengan merekonstruksi sejarah alam semesta dengan melawan tiga paham Penciptaan yang telah berabad-abad dipegang dan diamini oleh kaum beriman dalam kredo bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari Alfa (Awal) sampai Omega (Akhir) dunia ini.
Paham pertama bilang, bahwa dunia yang ada ini secara nyata bukan ilusi semata, sebab seandainya alam semesta ini tidak lebih dari ilusi, maka tidak ada penciptaan. Kedua, alam semesta mutlak tergantung kepada Dia yang Menciptakan. Alam semesta ada, tidak dengan sendirinya ada. Ketiga, Tuhan menciptakan dengan tidak berpangkal dari khaos. Ini berlawan dengan khaos purba yang telah berabad-abad dipercayai dan diamini oleh bangsa Mesir, Sumeria, Babilonia, Kanaan dan Yunani.
Persis, bahwa tiga paham itu dikritik oleh Hawking. Ketika diwawancarai oleh El Mundo pada 2014, ia berkata, "Sebelum kita memahami dan mengerti sains, normal bahwa kita percaya bahwa Tuhan mencipta alam semesta. Hanya saja, sains sekarang menawarkan serangkaian penjelasan yang demikian meyakinkan. Yang saya maksudkan di sini, kita seakan-akan mengetahui pikiran Tuhan, dan kita mengetahui segala sesuatu yang Tuhan kehendaki."
Ia kemudian mencontohkan kepada apa yang dialami. Dalam wawancara dengan Reuters pada 2007, Hawking menunjukkan kepada kelumpuhan yang dialami tubuhnya sejak 1963, yang dikenal sebagai amyotrophic lateral sclerosis atau ALS. "Diriku bukan seorang yang religius, ketika mengalami sakit seperti ini," katanya.
"Saya percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh sejumlah hukum-hukum fisika," katanya. "Hukum-hukum itu mungkin diciptakan oleh Tuhan, tetapi Tuhan tidak mencampuri keberadaan dan kelangsungan dari hukum-hukum itu."
Pernyataan itu tentu memberi efek kejut luar biasa bagi mereka yang memegang kredo berabad-abad bahwa alam semesta diciptakan dan diadakan oleh Tuhan dari awal sampai akhir dunia.
Hawking merespons dengan menyambangi sejumlah pemuka agama, antara lain Paus Fransiskus dan Paus Benediktus XVI. Kunjungan itu lantas dilabel sebagai peneguhan atas hubungan antara iman dan akal budi, antara sains dan agama, serta filsafat.
Hawking berkesempatan berpidato dengan topik "Asal usul Alam Semesta" (The Origin of the Universe) di hadapan konferensi para pemuka agama di Vatikan pada 2016. Paus Benediktus XVI mengatakan, "Para ilmuwan tidak menciptakan dunia, mereka belajar tentang dunia dan berusaha membangun dunia."
Pada 2010, Hawking bersama dengan Leonard Mlodinow menulis buku berjudul “The Grand Design", yang merupakan big bang dengan menyatakan, "Karena terdapat hukum gravitasi, maka alam semesta menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan."
Dalam diskusi mengenai bukunya itu, ia berkata kepada ABC News, "Seseorang tidak mampu membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Sains menyebabkan bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi. Hukum-hukum fisika mampu menjelaskan bahwa alam semesta tidak memerlukan Pencipta."
Mengapa Hawking sampai kepada kesimpulan seperti itu? Dalam dokumentasi yang disiarkan oleh Discovery Channel, ia menyatakan, "Kita (manusia) masing-masing memiliki kehendak bebas untuk berlaku dan bertindak apa saja. Dari sini, penjelasan saya sangat sederhana dan singkat saja, bahwa tidak ada Tuhan. Tidak ada yang menciptakan alam semesta ini."
Tilikan kritis Hawking ini lantas direspons secara positif oleh seorang penulis beraliran atheist, Lianna Brinded yang menulis dalam majalah online Quartz. Ia menulis, "Hawking secara agresif menantang kematiannya sendiri, karena ia gagah berani mempertanyakan agama secara kritis dengan meminjam sejumlah perangkat pembuktian ilmiah yang dilandasi pertimbangan akal budi."
Hawking yang lahir pada 8 Januari 1942, mengomentari mengenai sakit yang dideritanya, seraya berbicara mengenai hidup sesudah mati. Pada 2011, ia berbicara kepada harian Guardian, "Tidak ada surga, atau tidak ada hidup sesudah mati. Yang ada hanyalah orang yang cemas akan kegelapan."
Dengan sikap kritisnya itu, Hawking ingin menunjuk dan merujuk kepada survey bahwa hampir 93 persen dari ilmuwan kondang sekarang ini tidak percaya Tuhan. Berlawanan dengan hal itu, sekitar 83 persen warga Amerika percaya Tuhan. Majalah Nature dalam survey pada 1998 terhadap sekelompok ilmuwan papan atas dari The National Academy of Science justru mendapatkan bahwa hanya tujuh persen dari para ilmuwan itu percaya kepada Tuhan.
Sejumlah studi terhadap para ilmuwan Inggris - utamanya the Fellows of the Royal Society of London - mendapati bahwa 42 persen warga masyarakat Inggris percaya kepada Tuhan, dan lima persen di antara para ilmuwan Inggris.
Bersama dengan sikap kritis itulah, Hawking kemudian didiagnosa menderita penyakit ALS sejak berusia 21 tahun. Waktu itu, ia didaulat hanya bisa bertahan hidup selama dua tahun, tetapi kenyataan berbicara lain. Ia dianugerahi hidup sampai usia 76 tahun. Tubuhnya memang hampir lumpuh seluruhnya, tetapi akal budinya demikian progresif dengan dibantu mesin komputer suara yang mampu mengontrol otot-otot bicaranya.
Banyak pihak berpendapat bahwa masa hidupnya yang sampai 76 tahun itu merupakan mukjizat. Hanya saja Hawking tidak percaya dengan mukjizat dari Tuhan. Ia berkata, "Agama percaya dengan mukjizat, tetapi mereka tidak kompatibel dengan sains."
Ramai-ramai sejumlah pihak menuduh bahwa Hakwing bersikap keras kepala ketika tidak mengakui bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Ia merespons secara terang benderang, "Kenyataannya, (di dunia) ini masih ada penderitaan. Dengan penderitaan itu, maka manusia mampu berbuat dan berusaha dengan mengandalkan kebebasan. Ketika ada kehidupan, maka di sana ada harapan."
Dalam sakitnya itu, Hawking berbicara, bahwa, "Penderitaan ada, maka Tuhan tidak ada." Jawabannya, kebaikan dan harapan selalu ada, maka Tuhan ada. Kebaikan yang diterima Hawking tidak dapat dipahami tanpa adanya Tuhan, tetapi tidak pasti juga bahwa penderitaan tidak dapat dimengerti dengan adanya Tuhan.
Hawking berujar, "Amin," dan bersimpuh di hadapan Tuhan, karena ia memiliki dan mengandalkan harapan, meski ia menderita sakit sejak usia 21 tahun sampai ajal menjemput di usia 76 tahun. Sejatinya, big bang terdahsyat adalah harapan, karena penderitaan bukanlah akhir dari segalanya.(*)
Baca juga: Lima nasehat Stephen Hawking bagi orang yang dilanda depresi
Baca juga: 10 kutipan termasyhur Stephen Hawking
Pewarta: AA Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018