Entah dari mana asal muasalnya, tiba-tiba saja kata "Pelakor" atau "perebut (le)laki orang" menjadi tren di media sosial.

Mungkin saja kata-kata itu merebak dan terus digunakan sejak video pesohor Jennifer Dunn yang sedang dilabrak oleh putri dari lelaki yang berselingkuh dengannya.

Warganet pun menyebutnya sebagai pelakor.

Setelah peristiwa tersebut, video serupa banyak bermunculan, tidak hanya pesohor yang jadi sorotan publik, orang biasa juga ikut memvideokan aksi labrak-melabrak sang pelakor, video itu diviralkan lewat media sosial dan berujung hujatan dan cacian dari warganet.

Seakan-akan tindakan tersebut adalah hukuman yang pantas bagi perempuan yang menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan.

Label "pelakor" kemudian disandangkan kepada perempuan itu, seolah laki-laki yang terlibat dalah hubungan tersebut bebas dari dosa.

Bagai peristiwa yang pantas dikonsumsi oleh publik, media massa konvensional juga ikut menyuguhkan berbagai macam cerita serta penyebutan pelakor dalam menulis kejadian itu.

Peneliti bidang kajian gender Sabilla Tri Ananda mengatakan melabeli perempaun dengan sebutan "pelakor" termasuk bentuk kekerasan verbal dan misogini.

Misogini adalah rasa benci atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan.

Istilah `pelakor` menjadi bias, seakan-akan lelaki yang diambil oleh orang lain adalah pasif, sementara perempuan menjadi pelaku aktif dalam perselingkuan, padahal selingkuh dapat terjadi karena dua belah pihak.

"Perempuan kerap disalahkan dalam sebuah perselingkuhan, jika istri berselingkuh maka perempuan akan disalahkan, jika suami berselingkuh maka orang ketiga yaitu perempuan juga akan disalahkan.

Mirisnya perundungan dengan menyebut perempuan orang ketiga dalam suatu hubungan sebagai "pelakor" yang marak di media sosial kerap dilakukan oleh perempuan juga.

Bahkan perundungan tersebut juga sampai ke dunia nyata, misalnya kasus pengiriman karangan bunga yang isinya hujatan yang dialamatkan ke kantor perempuang orang ketiga tersebut.

Menurut dia, hal tersebut dapat terjadi karena perempuan yang selama ini "terjajah" dalam budaya patriarki ternyata ikut melanggengkan nilai patriarki tersebut dengan menilai, mengopresi dan menindas perempuan lain.

Perempuan yang selama ini menjadi objek penindasan dalam dunia maskulin, mencoba berdiri sebagai subjek dengan mengadopsi nilai maskulin dan mkelakukan kekerasan terhadap perempuan lain.

"Jadi terjadi peniruan oleh kelompok terjajah (dalam hal ini perempuan) terhadap kebiasaan, perilaku, ide dari kelompok penjajah (dalam hal ini laki-laki). Kemudian kelompok terjajah tersebut mempraktikan kebiasaan tersebut ke sesama kelompoknya," kata peneliti lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tersebut.

Mempermalukan perempuan

Peneliti linguistik Nelly Martin dalam artikelnya yang dimuat di jejaring the conversation mengatakan istilah pelakor tersebut digunakan untuk menyalahkan dan mempermalukan perempuan dan sama sekali tidak menyalahkan laki-laki yang melakukan perselingkuhan.

Dalam konteks tersebut, istilah pelakor perlu dianalisis secara kritis karena memberikan retorika yang timpang.

Secara sosiolinguistik, istilah ini sangat berpihak pada laki-laki, karena seringkali muncul dalam wacana keseharian tanpa istilah pendamping untuk laki-laki dalam hubungan tersebut.

Istilah pelakor, secara umum digunakan sendiri, atau sang laki-laki secara terang-terangan absen dalam cerita tersebut.

Secara kebahasaan, istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar.

Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.

Dia mengatakan kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menyalahkan pelakor seorang menunjukkan bias negatif kita terhadap perempuan, dan pada saat yang sama mengglorifikasi laki-laki.

Dalam kasus perselingkuhan, tampaknya masyarakat Indonesia masih menerapkan bias gender. Jika perselingkuhan terjadi, kesalahan ditimpakan pada perempuan, baik dalam peran perempuan sebagai korban (istri yang dikhianati yang seringkali dianggap "gagal" mengurus suami) atau kepada perempuan lain, yang dianggap merebut.

"Dengan kata lain, kecenderungan kita untuk berteriak pelakor tanpa menyebut-nyebut sang lelaki, menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan persepsi yang buruk terhadap perempuan," kata dia.


Media sosial wadah perundungan

Seperti yang telah disebutkan, pelabelan pelakor santer digunakan di media sosial, lalu mengapa para warganet yang kebanyakan perempuan berbondong-bondong merundung di media sosial?

Sabilla menjelaskan media sosial dalam jaringan (online) dapat membentuk identitas ulang yang berbeda dari dunia nyata. Contohnya misalnya dalam kehidupan nyata seseorang itu miskin, namun dia dapat berpura-pura kaya dengan mengunggah foto yang bergaya hidup mewah.

Dalam kasus "pelakor", identitas sebagai superior inilah yang dibentuk oleh para warganet. Oleh sebab itu tidak heran istilah "pelakor" langsung diadaptasi dan kerap digunakan perempuan sebagai bentuk keinginan untuk menindas sesamanya.

Selain itu, kecenderungan orang untuk meniru tindakan yang dilakukan orang lain, juga menjadi salah satu faktor ramainya istilah itu digunakan.

"Kalau dilihat dari faktor budaya massa, orang akan mudah meniru tindakan yang ramai dilakukan orang lain. Begitu istilah pelakor banyak digunakan, maka orang-orang lain pun ikut menggunakannya," kata dia.

Penggunaan kata tersebut juga dapat digolongkan sebagai bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan.

Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dampak dari kejahatan siber ini dapat menjatuhkan hidup perempuan, korban dapat menjadi korban berluang kali dan peristiwa tersebut dapat terjadi seumur hidup.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018