Bandarlampung (ANTARA News) - Kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) Indonesia- Singapura tampaknya makin sulit diterapkan jika melihat meluasnya penolakan di berbagai kalangan di Indonesia, baik DPR, politisi, pensiunan militer, dan berbagai elemen masyarakat lainnya, termasuk di Provinsi Kepulauan Riau.
Selain penolakan itu, titik temu antara pemerintah Indonesia dan Singapura dalam penyusunan rumusan implementasi (Implementing Arrangement/IA) perjanjian pertahanan itu merupakan hal yang krusial.
Kedua negara belum menemukan titik temu atas area latihan Bravo di Laut Natuna. Indonesia menginginkan area latihan Bravo diatur layaknya seperti di area latihan Alpha I dan Alpha II, yakni melibatkan TNI. Singapura menilai substansi DCA akan berubah jika pengaturan area latihan Bravo disamakan dengan Alpha I dan Alpha II.
Singapura sendiri dinilai oleh Indonesia sengaja menghambat atau memacetkan penerapakan DCA itu, dengan mempersoalkan masalah Area Latihan Bravo yang belum ada rumusan pelaksanaannya (IA).
Menhan Juwono Sudarsono mengatakan, Singapura sengaja menghambat DCA agar perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura juga gagal dilaksanakan.
Setelah lebih dari 30 tahun diperjuangkan oleh Indonesia, dan sempat mempengaruhi hubungan Indonesia-Singapura, kedua negara anggota ASEAN itu menyepakati perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty/ET) yang ditandatangani bersamaan dengan perjanjian pertahanan (DCA) di Bali pada 27 April 2007.
Kedua negara menyepakati ET dan DCA sebagai satu paket berikut empat pengaturan pelaksanaan (implementing arrangements/IA) yang tiga di antaranya mengenai wilayah kerjasama pertahanan.
Perjanjian ekstradisi dinilai keberhasilan pemerintah, dan berbagai kalangan di dalam negeri meminta agar kesepakatan tidak dikaitkan dengan perjanjian pertahanan. Ada kekhawatiran bahwa DCA adalah kompensasi perjanjian ekstradisi.
Menhan Juwono awalnya juga menyebutkan DCA bukan kompensasi perjanjian ekstradisi, namun mengakui kerjasama itu merupakan satu paket. Dengan demikian, jika salah satu kerjasama itu gagal dilaksanakan, maka kerjasama lainnya tidak bisa dilanjutkan.
Jika perjanjian ekstradisi dijalankan, Singapura diperkirakan kehilangan pendapatannya, karena negara kota itu merupakan salah satu negara yang hidup dari uang panas, seperti halnya Swiss yang mengelola uang panas dari berbagai negara di Afrika, Amerika Latin, Hongkong, Cina, dan Indonesia.
Laporan Merrill Lynch dan Capgemini tahun lalu menyebutkan sepertiga penduduk Singapura yang kaya --aset kekuangannya lebih 1 juta dolar AS-- berasal dari Indonesia. Jumlah WNI itu 18 ribu orang dengan total asetnya 18 miliar dolar AS.
Menurut Menhan, tidak semua uang yang disimpan di Singapura itu illegal, dan Indonesia hanya meminta uang panas yang dilarikan ke Singapura pada periode 1997-2001, terutama para buron Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Indonesia memang sangat menginginkan uang panas yang disimpan di Singapura bisa dikembalikan, dan para pelaku kejahatan yang bersembunyi di negara tetangga itu bisa diseret ke pengadilan di Indonesia.
Namun bagi berbagai kalangan di dalam negeri, kedaulatan negara tidak bisa ditukar dengan apapun. Dengan kata lain, perjanjian pertahanan tidak bisa digunakan sebagai kompensasi perjanjian ekstradisi.
DCA Indonesia-Singapura memang dinilai telah merugikan kedaulatan Indonesia. Karenanya, berbagai anggota fraksi di DPR telah menyatakan secara terbuka penolakannya meratifikasi DCA itu, meski pemerintah hingga sekarang belum menyampaikan draftnya kepada DPR.
Sementara itu, para pensiunan militer meminta DPR untuk menolak meratifikasinya. Perjanjian ekstradisi itu bukan jaminan bahwa aset- aset Indonesia yang dilarikan ke Singapura bisa dibawa ke Indonesia, dan para koruptor bisa diseret ke pengadilan di Indonesia
"DPR tidak perlu ragu untuk menolak meratifikasinya, meski akan berdampak pada pembatalan perjanjian ekstradisi. Sekarang saja sudah arogan, apalagi setelah kerjasama itu diterapkan," kata Mayjen (Purn) Kivlan Zen.
Tidak ada negara sahabat
Beberapa mantan tokoh militer di Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia kurang cermat dalam proses penyusunan perjanjian pertahanan itu.
Dalam pandangan intelijen, sebagaimana disebutkan mantan Kepala BAIS Ian Santoso, tidak ada negara sahabat, karena yang ada adalah kepentingan bangsa dan negara itu sendiri, meskipun negara itu bertetangga ataupun serumpun/seumat.
Dengan demikian, setiap negara lain adalah calon lawan dari negara itu, cuma derajatnya saja yang menentukan.
Perjanjian antar dua negara sebetulnya adalah "the first real war", yakni yang kuat akan menekan yang lemah atau ditentukan oleh prediksi musuh bersama. Jika tidak ada musuh bersama, tidak perlu kerjasama.
"Saya masih ingat ketika almarhum Jenderal Benny Moerdani berdialog diplomasi dengan Jenderal Winston Choo, bahwa kalau Singapura ingin memiliki Batam, Indonesia setuju asal Singapura diserahkan kepada Indonesia. Maknanya dalam bahwa kedaulatan tidak dapat ditukar dengan apapun, kecuali kalah perang," katanya.
Menurut mantan Kasum TNI Suaidy Marasabessy, masalah DCA itu mengemuka di dalam negeri karena kelemahan diplomasi dan posisi tawar Indonesia dalam proses penyusunan DCA dan ET.
Dalam setiap perjanjian selaku berlaku ketentuan "take and give". Indonesia sudah sangat lama menginginkan perjanjian ekstradisi (ET), dan Singapura menginginkan perjanjian pertahanan (DCA).
Ketika negosiasi dan penyusunan perjanjian itu tengah berlangsung, Singapura sangat serius mempersiapkanya agar sungguh- sungguh menguntungkan bagi negaranya, sementara Indonesia kurang mendalam persiapannya.
Kerjasama militer Indonesia-Singapura bukan hal yang baru, karena sudah puluhan tahun angkatan bersenjata kedua negara melakukan latihan dalam bentuk patroli bersama, bahkan Indonesia sempat memberikan area latihan militer kepada Singapura.
Penolakan yang meluas atas DCA itu bukan disebabkan ketakutan Indonesia kepada Singapura yang memiliki kerjasama militer dengan AS dan Israel itu, tapi karena kedaulatan Indonesia dirugikan.
Bagi Indonesia, sebagaimana disebutkan Menhan, tidak akan keberatan atau rugi jika perjanjian pertahanan itu batal, namun akan tetap melakukan upaya diplomasi agar perjanjian pertahanan dan ekstradisi yang saling menguntungkan bisa diterapkan.
Meski demikian, pemerintah diminta untuk bersikap lebih tegas atas keengganan Singapura menanggapi usulan revisi DCA yang ditawarkan pemerintah Indonesia.
"Perjanjian pertahanan itu tentunya harus saling menguntungkan kedua negara. Karena itu, rumusan pelaksanaannya (IA) direvisi. Kalau Singapura menolak, pemerintah tidak perlu memaksakan agar usulan revisi itu diterima Singapura. Batalkan saja kalau tidak bisa direvisi," kata Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga.(*)
Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007