Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Perindustrian terus mendorong Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang dimilikinya baik Balai Besar maupun Balai Riset dan Standardisasi agar semakin giat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang).

Salah satu yang menjadi temuan yakni protein perekat dari ulat sutra atau serisin yang disebut mampu meningkatkan nilai tambah industri farmasi dan kosmetik.

“Salah satu UPT yang sedang mengembangkan inovasi, yaitu Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung, dengan memanfaatkan protein perekat dari ulat sutra atau serisin yang ternyata berguna sebagai bahan aktif untuk mendukung sektor industri farmasi dan kosmetik,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Ngakan Timur Antara melalui keterangannya di Jakarta, Senin.

Ngakan menjelaskan, serisin erat kaitannya dengan proses produksi sutra. Di bidang farmasi, serisin dapat diaplikasikan sebagai penyembuhan luka, pencegah tumor melalui penghambatan radiasi sinar ultraviolet, serta memiliki antioksidan dan antibakteri.

“Sementara itu, di bidang kosmetik, serisin bisa dipakai sebagai anti kerut dan penuaan dini,” ungkapnya.

Bahkan, penggunaan serisin pada kulit dapat menurunkan nilai transepidermal water loss (TEWL). TEWL adalah salah satu penyebab kulit kering.

“Nilai TEWL menyebabkan kadar air kulit terjaga karena tidak terjadi kehilangan air pada lapisan kulit terluar sehingga tekstur kulit menjadi lebih halus. Hal ini menyebabkan kulit lebih elastis dan tidak mudah berkerut,” papar Ngakan.

Menurutnya, serisin tidak hanya didapatkan dari kokon (kepompong ulat sutra) berkualitas baik saja, namun juga dari kokon cacat.

Jumlah kokon cacat yang dihasilkan bisa mencapai 8,78 persen dari total produksi kokon. Rata-rata produksi petani kokon di Indonesia sebesar 40 kg kokon per masa panen.

“Jadi, yang tengah didorong BBT Bandung selaku UPT litbang di bawah BPPI, adalah peningkatan nilai tambah kokon menjadi serisin, sehingga dapat pula menyejahterakan petani kokon di Indonesia,” tuturnya.

Dari hasil penelitian, kokon ulat sutra mengandung 20-30 persen serisin.

“Jika saja petani kokon Indonesia mampu mengekstraksi 10 persen serisin grade murni dari bobot total kokon, maka potensi penambahan income kotor petani kokon sebesar Rp60 juta setiap masa panen, dengan asumsi harga serisin yang ada di pasaran saat ini sebesar Rp15 ribu per gram,” jelas Ngakan.

Besarnya potensi tersebut diharapkan dapat menggairahkan kembali kegiatan produksi persuteraan nasional. Berdasarkan data yang diterima Kemenperin, hingga saat ini, tercatat ada 200-an petani kokon di Tanah Air.

Sebagian besar terkonsentrasi di Kabupaten Soppeng dan Wajo, Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Pada kesempatan yang berbeda, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, industri farmasi nasional terus berupaya membangun struktur yang dalam dan terintegrasi agar mampu menghasilkan produk-produk dengan inovasi baru dan bernilai tambah tinggi.

Guna menciptakan tujuan tersebut, antara lain diperlukan ketersediaan bahan baku dan penguasaan teknologi sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk pasar domestik dan ekspor.

“Industri farmasi dan bahan farmasi merupakan salah satu sektor andalan yang diprioritaskan dalam pengembangannya, karena berperan besar sebagai penggerak utama perekonomian nasional di masa yang akan datang,” tegasnya.

Kemenperin mencatat, industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional tumbuh sebesar 6,85 persen dan memberikan kontribusi sebesar 0,48 persen pada tahun 2017.

Demikian juga dengan nilai investasi yang meningkat sebesar 35,65 persen. Pada tahun 2017, penambahan investasi di sektor ini mencapai Rp5,8 triliun.

Menperin menyebutkan, industri farmasi menjadi salah satu subsektor yang diharapkan berkontribusi signifikan untuk mencapai target pertumbuhan industri pengolahan nonmigas tahun 2018 yang telah ditetapkan sebesar 5,67 persen.

“Industri farmasi sudah mampu menyediakan 70 persen dari kebutuhan obat dalam negeri,” ungkapnya.


Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018