Singapura (ANTARA News) - Sebuah perusahaan raksasa bergerak dibidang farmasi kini hampir merampungkan upaya melakukan pengembangan vaksin demam berdarah pertama di dunia, dimana negara-negara tetangga Singapura sedang berupaya memerangi wabah demam berdarah, demikian laporan media massa Singapura Sabtu.
"Uji klinis yang melibatkan sebanyak tiga ribu orang akan dimulai pada awal tahun depan di Thailand," kata Jean Stephenne presiden direktur dari perusahaan farmasi tersebut.
"Kami sedang mengupayakan pembuatan vaksin demam berdarah bersama-sama pihak Angkatan laut AS yang sudah berlangsung selama kira-kira 10 tahun lamanya."
Uji coba vaksin yang akan dilakukan di Thailand tahun depan akan merupakan bagian dari tahap kedua dari proses pembuatan vaksin tersebut.
"Vaksin tersebut sudah di uji cobakan kepada 500 orang di Amerika (Serikat) selama berlangsungnya tahap pertama dan terbukti aman dan efektif," kata Stephene.
Setelah uji coba di Thailand selesai dilaksanakan maka proses yang akan dilalui vaksin itu akan masuk ke tahapan berikutnya yaitu uji coba keefektifitasannya di sejumlah tempat lainnya didunia termasuk Singapura.
Kasus dari penyakit yang disebarkan oleh nyamuk aedes sudah mencapai tingkat epidemik dua kali di Singapura, negara satu kota itu, sejak Juni tahun ini.
Di Singapura tercatat 3.597 kasus dengan tiga kematian sejak awal tahun ini.
Curah hujan yang dikombinasikan dengan cuaca yang hangat menjadikan hal-hal yang penyebab berkembang biaknya nyamuk aedes secara cepat yang membawa dan menyebarkan demam berdarah, melewati batas negara-negara.
Stepehen mengataka salah satu faktor penentu lainnya yang menyebabkan penyakit itu mudah menjalar ke daearh lain bahwa virus tersebut memiliki empat variasi.
"Kami telah menguji coba vaksin tersebut dan terbukti aman bagi mereka yang mengkonsumsi, yang berarti aman bagi anak-anak maupun orang dewasa," katanya.
Perusahaan tersebut menginginkan untuk dapat menjadwalkan memasarkan vaksin tersebut ke pasar dalam waktu sekitar lima tahun kedepan.
Pada saat itu diperkirakan penelitian, pengembangan hingga uji coba klinis telah menelan biaya antara 500 juta hingga 1 milyar dolar AS, demikian DPA.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007