Jakarta, (ANTARA News) - Dosen Teknik Elektro Universitas Indonesia, Ir Chairul Hudaya ST MEng PhD IPM, mengatakan penyimpanan energi yang paling primadona saat ini adalah dengan medium baterai lithium ion.
"Baterai ini digunakan di seluruh perangkat elektronik mulai dari ponsel hingga mobil listrik," ujar peringkat kedua dosen berprestasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) 2017 tersebut.
Baterai yang pertama kali dikomersialkan perusahaan elektronik asal Jepang, Sonny, tersebut memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan baterai jenis lainnya, yakni tingkat kerapatan energi yang tinggi dan waktu hidup yang relatif lama.
Baterai lithium tersebut juga menjadi kunci utama untuk kendaraan listrik. Hudaya memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan, mobil konvensional yang masih menggunakan energi fosil perlahan akan tergeser digantikan mobil listrik.
Perusahaan besar dunia, seperti Volvo, Mercedes Benz memastikan dalam beberapa tahun ke depan tidak akan memproduksi kendaraan berbahan bakar fosil, kata Hudaya.
Kunci utama dalam mobil listrik terletak pada baterainya. Saat ini, 50 persen dari harga mobil listrik terletak pada baterai.
Namun industri di Tanah Air belum sepenuhnya mendukung industri baterai tersebut, padahal di sejumlah negara sudah banyak industri yang fokus pada bisnis baterai lithium tersebut.
Sebagai contoh China yang pada April 2017 telah membangun pabrik baterai lithium terbesar di dunia. Begitu juga perusahaan elektronik dari Korea Selatan, Samsung, yang juga membangun pabrik baterai lithium di Hungaria dan Malaysia.
Sepeda listrik, motor maupun mobil listrik adalah keniscayaan. Tahun ini, ITS akan meluncurkan motor listrik merk Gesits bekerjasama dengan WIKA.
Namun persoalan utama di Tanah Air adalah persoalan baterai dari kendaraan listrik tersebut. Hudaya melihat sudah banyak pebisnis yang terjun pada baterai, namun belum untuk skala besar.
Begitu semua beralih ke listrik, industri rumahan yang selama ini menyediakan suku cadang kendaraan konvensional akan tutup. Selama ini untuk satu baut saja, ada ribuan industri rumahan.
Tapi dengan kendaraan listrik, tidak lagi semuanya akan terdisrupsi dan digantikan dengan motor listrik.
Galon Listrik
Melihat potensi tersebut, Hudaya kemudian menerapkan baterai listrik tersebut ke dalam Gatrik singkatan dari Galon Listrik, yakni penyimpanan energi dengan media baterai lithium untuk skala menengah. Dengan Gatrik, masyarakat yang membutuhkan listrik hanya memasukkan ke colokan atau catu daya dan langsung menyala.
Aplikasi ini diharapkan bisa mengatasi persoalan listrik di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T), karena untuk membangun transmisi di daerah 3T itu mahal sekali.
Jadi solusinya, kata dosen yang meraih gelar doktor di Institut Sains dan Teknologi Korea tersebut, bisa menggunakan Gatrik ini karena begitu listriknya habis bisa ditukar.
Sederhananya, kata dia, Gatrik tersebut seperti "powerbank" yang biasa digunakan masyarakat, namun memiliki sistem manajemen baterai.
Gatrik yang memiliki berat empat kilogram tersebut, memiliki kapasitas energi yang sama dengan aki truk yang memiliki berat 20 kilogram. Dengan Gatrik tersebut bisa menghidupkan dua lampu listrik hingga tujuh hari ke depan.
Penggunaannya tidak hanya terbatas untuk penerangan, tetapi juga untuk berbagai peralatan listrik. Uniknya ini seperti tabung LPG, begitu habis bisa langsung tukar.
Untuk isi ulangnya bisa menggunakan tenaga surya. Cukup dijemur di bawah sinar matahari. Gatrik sendiri merupakan hasil penelitian Hudaya dengan Fadolly Ardin.
Keduanya berhasil menyabet juara I pada Pertamina Ide Gila Competition 2017 kategori Ide Bisnis dan Invoatif. Penggunaan Gatrik sendiri perlu dipadukan dengan DC House, karya peneliti Indonesia yang menjadi profesor di California Poly State University (Calpoly) Amerika Serikat, Dr Taufik.
Tenaga Surya
Untuk pengisian ulang dari Gatrik tersebut dapat menggunakan tenaga surya. Indonesia dianugerahi penyinaran matahari sepanjang tahun karena berlokasi di jalur khatulistiwa.
Kementerian ESDM memperkirakan bahwa potensi energi surya di Indonesia mencapai 530 Giga Watt (GW) atau sekitar 9-10 kali lipat dari total gabungan kapasitas pembangkit listrik yang ada di Indonesia saat ini.
Bayangkan begitu besarnya potensi tersebut.
Begitu juga harga material pada saat ini, jauh lebih murah. Hudaya ingat saat membeli satu buah panel sel surya 80 Watt Peak (WP) di Glodok, harganya berkisar Rp4 juta, tapi sekarang harga panel 100 Wp hanya berkisar Rp1 juta.
Namun kendala utama, dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sifatnya menghasilkan daya yang berubah-ubah tiap waktu tergantung dari cuaca. Selain itu PLTS hanya bekerja saat siang hari. Pada malam hari tidak ada listrik yang bisa dihasilkan.
"Untuk PLTS harus digabung dengan media penyimpanan energi seperti baterai lithium agar pasokan listrik ke bebannya stabil dan pengisian ulang berjalan baik," papar dia.
Fakultas Teknik UI sendiri bekerja sama PT Wijaya Karya memadukan konsep Gatrik tersebut dengan DC House yang diaplikasikan di Sekolah Master (SM), Depok, Jawa Barat.
DC House sendiri merupakan sistem pengaliran listrik dengan metode direct current (DC). Untuk biaya pembuatannya pun relatif murah untuk instalasi DC House dan Gatrik hanya menghabiskan Rp10 juta dan menghemat biaya listrik setiap bulannya di sekolah itu yang mencapai Rp15 juta.
Aplikasi Gatrik dan DC House ini bisa digunakan untuk daerah-daerah di kawasan 3T dan bisa menjadi solusi masalah kelistrikan di Tanah Air.
Pewarta: Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018