Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam dengan pidana penjara 18 tahun dan pidana denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
"Menghukum agar terdakwa membayar pengganti Rp2,7 miliar dengan perhitungaan harga satu bidang tanah dan bangunan yang terletak di Kompleks Primer Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur yang disita diproses penyidikan," kata Jaksa Subari Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis.
Selanjutnya, kata dia, apabila terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti tersebut dalam waktu 1 bulan setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa.
"Untuk menutupi uang pengganti tersebut dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta yang cukup, maka dipidana penjara 1 tahun," ucap Subari.
Jaksa menyimpulkan terdakwa Nur Alam telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
"Sebagaimana diatur pidana dalam Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 30 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagamana dakwaan alternatif pertama dan dakwaan kedua," tuturnya.
Adapun hal-hal yang memberatkan terdakwa antara lain perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dan masyarakat yang sedang melakukan upaya pemberantasan korupsi serta perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan lingkungan di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Buton.
Selanjutnya, terdakwa sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara seharusnya tidak bersikap koruptif kepada masyarakatnya dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan menyesali perbuatannya.
Sementara hal yang meringankan, yakni terdakwa bersikap sopan selama menjalani persidangan.
Selain itu, hak politik Nur Alam juga dicabut selama lima tahun setelah selesai menjalani hukuman.
Nur Alam terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.
Selain itu, Nur Alam juga menerima gratifikasi sebesar 4,499 juta dolar AS atau senilai Rp40,268 miliar yang terkait dengan jabatannya. Pada September-Oktober 2010 sebesar 2,499 juta dolar AS yang ditempatkan di rekening AXA Mandiri Financial Service. Uang berasal dari rekening Chinatrust Commericial Bank Hongkong atas nama Richcorp International Ltd.
Baca juga: Gubernur Sultra nonaktif Nur Alam segera disidang
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018