Penyidikan itu dilakukan untuk tersangka Fayakhun Andriadi yang merupakan anggota DPR dari Partai Golkar periode 2014-2019.
"Memang kami akan lakukan pemeriksaan lebih intensif terhadap sejumlah pihak tertentu yang terkait sebelumnya seperti di Bakamla dan juga anggota DPR RI yang kami pandang mengetahui proses penganggaran pada saat itu. Jadwal dan saksinya siapa tentu akan kami sampaikan berikutnya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin.
Dalam penyidikan kasus itu pun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin telah memeriksa satu saksi dari unsur swasta bernama Abu Djaja Bunyamin.
"Saksi yang diperiksa untuk tersangka Fayakhun Andriadi dalam kasus Bakamla. Ini pemeriksaan sebagai penjadwalan ulang dari rencana pemeriksaan 28 Februari 2018 yang lalu. Jadi, pada 28 Februari 2018 tidak dilakukan pemeriksaan dan dijadwalkan ulang hari ini," kata Febri.
KPK telah menetapkan Fayakhun sebagai tersangka pada 14 Februari 2018.
Fayakhun selaku anggota DPR RI periode 2014-2019 diduga menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.
Fayakhun disangkakan menerima uang senilai Rp12 miliar dan 300 ribu dolar AS ketika masih menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Saat ini, dia sudah tidak lagi berada di komisi tersebut, tapi duduk di Komisi III yang bermitra dengan KPK.
Fayakhun diduga menerima "fee" atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016 sebesar satu persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau senilai Rp12 miliar dari tersangka Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.
Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima uang sejumlah 300 ribu dolar AS.
Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018