Kesaksian ini terungkap dari warga Rohingya yang berbagi pengalaman pedih bangsanya dalam sebuah konferensi mengenai genosida Myanmar yang diadakan di Berlin, Jerman, Senin lalu.
Salah seorang dari mereka, Sultana Razia, guru Rohingya dari Chittagong, menceritakan kekejaman terhadap minoritas muslim Rohingya, dalam konferensi itu.
"Pemerkosaan sistematis adalah senjata perang yang digunakan angkatan bersenjata Myanmar dalam "operasi pembersihan" untuk mengusir Rohingya dari negara bagian Rakhine," kata para pakar yang menghadiri konferensi itu seperti dikutip harian Thailand, The Nation.
Pembakaran, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan dan pembantaian telah berulang kali dilaporkan oleh berbagai organisasi internasional, pembela HAM dan media massa. PBB menggunakan istilah "pembersihan etnis", tetapi banyak warga Rohingya dan pakar menyebutnya "genosida".
Baca juga: Dunia ramai-ramai tekan Myanmar berhenti persekusi Rohingya
Yanghee Lee dari UN Special Rapporteur untuk situasi HAM di Myanmar, menyatakan operasi militer terhadap Rohingya itu sudah menandakan genosida.
Pemerintah Myanmar secara sistematis tidak mengakui eksistensi dan identitas Rohingya, kata Ro Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma di Inggris. Bahkan praktik itu sudah berlangsung sejak Tun Khin masih kecil.
Lahir dan besar di Rakhine yang dulu bernama Arakan, Ro Tun Khin pindah ke Inggris 16 tahun lalu saat masih berusia 17 tahun. Tetapi dia terus berhubungan dengan Rohingya dan para pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Diaspora Rohingya di Amerika Serikat, Eropa dan Asia Tenggara telah menyeru masyarakat internasional, PBB dan ASEAN, untuk segera menghentikan genosida Rohingya.
"Ini abad ke-21, dan penduduk semestinya tidak diperlakukan begitu. Pemerkosaan massal, pembunuhan massal dan bahkan merenggut bayi dari ibunya dan melemparkannya ke kobaran api adalah tak terlukiskan dan tak terbayangkan," kata Ro Tun Khin.
Pewarta: -
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018