Ambon (ANTARA News) - Kondisi dan situasi keamanan yang kian kondusif pascakonflik kemanusiaan 19 Januari 1999 di bumi Maluku, khususnya di Kota Ambon, mendapat ujian berat pada puncak perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Ambon, 29 Juni lalu. Hajatan nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Negara bersama beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Gubernur, Walikota serta Bupati se-Indonesia itu tercoreng oleh ulah 29 "penari liar" yang tampil tiba-tiba dan sempat mengibarkan bendera sebuah kelompok separatis. Kepala Negara dalam kesempatan itu memberikan reaksi keras dan memerintahkan aparat terkait untuk melakukan investigasi khusus terhadap kasus tersebut. Ternyata para penari liar tersebut adalah kelompok seperatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang mencoba memanfaatkan momen besar itu untuk menarik perhatian publik. Kasus yang menghebohkan republik ini sempat menimbulkan polemik dan tanda tanya di berbagai kalangan, bahwa siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab dalam insiden tersebut? Tim ivestigasi Mabes TNI yang dipimpin Sesmenkopolhukam Letjen (TNI) Agustadi Sasongko bersama Asops Kasum TNI, Mayjen (TNI) Bambang Darmono bersama sejumlah perwira lainnya turun langsung ke Lapangan Merdeka Ambon, melakukan investigasi atas lolosnya penari Cakalele liar acara itu. Mereka meninjau lapangan Merdeka Ambon yang menjadi pusat peringatan puncak Harganas XIV, juga meminta penjelasan dari Pangdam setempat, Mayjen TNI Sudarmaidy dan Kapolda Maluku, Brigjen Pol Drs. Guntur Gatot Setiyawan, terkait dengan lolosnya para penari liar ini. Evaluasi tim ini tidak lain untuk mencari tahu siapa sebenarnya pihak yang paling bertanggungjawab dalam peristiwa paling memalukan tersebut. Atas peran-peran siapa sehingga para penari liar itu bisa berada di tengah lapangan, menembus lapisan-lapisan pengamanan RI satu, bahkan pemimpin grup penari Cakalele tersebut, Johan Teterissa, ternyata juga memiliki ID Card (kartu pengenal) untuk acara besar itu. "Saya tetap akan bertanggungjawab dalam peristiwa ini termasuk membentuk sebuah tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan secara internal, apakah ada anggota TNI yang terlibat atau tidak. Kalau terbukti mempunyai andil dalam kasus ini akan diberikan sanksi tegas," kata Pangdam Sudarmaidy dalam rapat kerja dengan DPRD Maluku bersama Guberenur, Kapolda, dan panitia Harganas di Ambon, Rabu malam (3/7). Pembentukan tim investigasi internal Kodam Pattimura ini beranggotakan Komandan Korem dari Maluku Utara dan sejumlah anggota Polisi Militer yang tidak terlibat dalam anggota pengamanan Harganas agar mereka benar-benar netral dan bisa bekerja secara optimal. Tujuannya, kata Pangdam, untuk mencari tahu bagaimana sampai pemimpin grup tari liar, Johan Teterisa, yang notabene merupakan seorang guru di desa Aboru, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, bisa memiliki ID Card sementara pihak Kodam sendiri tidak mengetahuinya. "Kami ini tim tari yang terlambat," ucap Pangdam mengutip pernyataan para penari liar kepada petugas keamaman tanggal 29 Juni 2007, sehingga mereka akhirnya bisa lolos masuk ke lapangan Merdeka Ambon. Kapolda Maluku, Brigjen Pol Guntur Setiyawan dalam rapat tersebut juga menyatakan dirinya siap bertanggung jawab atas kebobolan pengamanan puncak peringatan Harganas XIV yang dihadiri Prsesiden SBY. Dia sempat menjelaskan kronologis kejadian tersebut sesuai dengan laporan petugasnya di lapangan. Katanya, pukul 07.00 WIT, aparat kepolisian mulai melakukan gelar kekuatan sebanyak 355 personel pada bagian VVIP. Pukul 07:30 WIT, masyarakat mulai menghadiri tempat acara dan di antaranya satu persatu para penari liar hadir dan berkumpul di halaman depan Kantor Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan memakai pakaian tarian. Kemudian pada pukul 08.30 WIT, Kasat Brimob, Dirlantas serta Dirsamapta Polda Maluku melakukan kontrol wilayah dan sempat menanyakan kepada para penari liar yang sedang berganti pakaian, "Kalian mau apa..? Lalu dijawab, "mau menari, Pak," ucap Kapolda mengutip jawaban penari tersebut, melalui laporan bawahannya. Pukul 09.25 WIT Presiden memasuki tempat acara, lalu pukul 09.30 WIT para penari turun ke jalan menuju arah depan Kantor PT. Pelni, sehingga petugas Poslantas di kawasan itu melapor ke Mapolda kalau ada penari di jalanan yang sempat menghambat arus lalu lintas sehingga petugas diperintahkan melakukan pemantauan sampai akhirnya dibubarkan oleh seorang anggota polisi berpangkat Bripda. Kelompok penari liar ini terus menyusup ke arah parkir timur lapangan Merdeka Ambon, namun sempat dilarang masuk lokasi oleh seorang anggota Polisi. Tetapi, akhirnya aparat keamanan terkecoh setelah rombongan tari liar bergabung dan masuk ke arena lapangan bersama penari-penari Katreji, yang hari itu memang terdaftar sebagai penari resmi untuk mengisi acara. "Mereka memakai trik dengan mengumbar senyum sebagai sebuah pesan moral yang tinggi dan memanfaatkan kelompok penari katreji dan rencana ini sudah dilakukan lewat empat kali pertemuan di desa Aboru," kata Kapolda. Dalam pertemuan itu sudah disusun rencana pengibaran bendera RMS pada puncak peringatana Harganas XIV di kota Ambon, dan bendera RMS harus disembunyikan pada celana dalam salah satu penari untuk nantinya dibentangkan saat dilakukan tarian Cakalele liar. Selama empat hari penyidikan pascatarian liar di hadapan Presiden SBY, sedikitnya 39 tersangka telah diringkus bersama sejumlah barang bukti, di antaranya selembar bendera RMS yang dibawa saat menari, empat pesawat Hand Phone, 19 tombak kayu dan lima set parang (pedang) dan perisai yang terbuat dari kayu, 66 penggal kain ikat kepala dan lengan warna merah. "Polisi juga telah menyita beberapa dokumen deklarasi RMS dan sebuah surat dari luar negeri di rumah seorang pendukung RMS," kata Kapolda dalam rapat yang dipimpin Ketua DPRD Maluku, Richard Louhenapessy, SH bersama Komisi A dan ketua-ketua fraksi. Sebenarnya rencana gerakan para pendukung RMS ini sudah tercium satu bulan sebelum puncak perayaan Harganas, karena ada perpecahan di antara 23 orang yang mengikuti rapat di rumah Johan Teterisa di Aboru. Dari informasi inilah polisi bergerak pada 21 Juni 2007 meringkus empat tersangka dan menyita 59 lembar bendera RMS yang sudah dijahit, termasuk ratusan potongan lembar kain warna merah, biru, putih, dan hijau yang bakal dijahit menjadi bendera di kawasan Benteng Atas, Kecamatan Nusaniwe (Kodya Ambon). "Polisi sudah mengantongi sembilan nama lain yang masih dikejar sehingga saya minta masyarakat untuk sama-sama membantu menumpas para pelaku `Tindak Pidana Makar` ini dan kami berharap agar situasi keamanan tetap terkendali, meskipun ada riak-riak kecil saat aksi demo anti RMS karena ini merupakan sebuah dinamika," kata Kapolda. Menyangkut masalah tanggung jawab ID Card, Ketua Bidang Protokoler/pemandu tamu dan upacara, Drs. Michael Rumajak menjelaskan, pihaknya memang membuat ID Card, namun dilaporkan serta disahkan oleh Korem 1501 Binaya. "Kecuali para peserta penari memang menjadi tanggung jawab seksi kesenian yang nantinya mengajukan nama-nama penari dan setiap orang yang mengambil ID Card ada nama-nama dan daftar terima," katanya. Dia juga mengakui selama penyusunannya ada riak-riak kecil tapi selalu dikoordinasikan dengan pihak Korem, dan terakhir ketika dilakukan gladi bersih pihaknya sudah memberikan informasi bahwa dua jam sebelum hari-H dan jam-D maka semua pendukung acara sudah harus hadir di lokasi acara. Rumajak juga meyakini para penari Katreji tidak terlambat hadir di lokasi acara, kecuali empat orang, yang memang terlambat akibat kemacetan lalulintas. Mereka lantas meminta izin kepada Paspamres. "Saya sendiri kaget melihat rombongan penari liar sudah masuk dari sektir paling kanan Lapangan Merdeka dan mendekati sentleban sehingga saya langsung berdiri melaporkannya kepada seorang aparat keamanan untuk memotong tarian liar tersebut," tutur Rumajak yang mengaku dirinya ketika itu juga dipanggil Ibu Ani Yudhoyono menanyakan masuknya penari liar yang tidak ada dalam agenda acara puncak Harganas itu. Anggota komisi A DPRD Maluku, L. Ivakdalam menilai pemerintah dan aparat keamanan selama ini kurang tanggap terhadap keberadaan separatisme RMS di daerah ini dan terkesan hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran. "Ada aksi baru timbul rekasi artinya bendera berkibar baru fungsi penegakan hukum dijalankan, padahal ketika saya menjadi Kapolsek di Saparua, saya selalu bertindak preventif," katanya. Bahkan untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) selalu diberi tanda OT (Organisasi Terlarang) setelah penulisan nama bagi mereka yang terlibat dalam gerakan separatisme. Anggota komisi lainnya, Burhan Ayuba malahan menuding aparat penyelenggara Harganas tidak bersih dari organisasi RMS, karena terbukti ada penari yang mengantongi ID Card sehingga perlu diusut tuntas. Pro kontra timbulnya separatisme RMS di Maluku yang disebabkan masalah ekonomi dan ideologi di antara para anggota legislatif dari Komisi A ini pun mengemuka. Menurut Poly Mantulameten dan Junus Tipka, masyarakat pedesaan selama 60 tahun Indonesia merdeka belum terlau tersentuh program-program pembangunan karena selama ini hanya berputar di daerah perkotaan. Bisa saja aspek kesejahteraan jadi pemicu sehingga daerah harus meminta perhatian pemerintah pusat memberikan anggaran yang lebih besar untuk program pembangunan, sekaligus menangani masalah separatisme RMS secara terpadu sampai ke akarnya, karena setiap saat orang-orang yang melakukan aktivitas pengibaran bendera tetap sama dan jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan Sufi Madjid berpendapat, aktivitas para pendukung separarisme RMS ini lebih dititikberatkan pada masalah ideologi karena meskipun masalah ekonomi mereka diperhatikan tetap saja mereka mendukung organsiasi RMS. "Yang terjadi di Aboru misalnya bukan masalah idealisme tapi lebih terfokus pada masalah ekonomi, karena contohnya Desa Alang, Kecamatan Leihitu (Pulau Ambon) Maluku Tengah yang biasanya mengibarkan bendera RMS, kini tidak lagi terjadi, karena gubernurnya berasal dari sana," kata Ir. Ridwan Marasabessy. Namun, yang jelas oknum pelaku penari liar bersama seluruh pihak yang terlibat termasuk aktor intelektualnya harus diproses menurut hukum, termasuk rencana Gubernur mengupayakan ekstradisi pimpinan Front Kedaulatan Maluku (FKM) dr. Alex Manuputty yang hengkang ke Amerika beberapa tahun lalu, agar tidak menyinggung perasan semua komponen bangsa di daerah ini. Para anggota legislatif ini juga secara umum menolak rencana Gubernur Maluku menyusun sebuah Peraturan Daerah (Perda) anti-RMS karena kedudukannya jauh di bawah Undang-Undang atau Kepres sehingga tidak mempunyai legitimasi. Perda anti-RMS sangat lemah sehingga perlu dibuat rancangan undang-undang untuk diusulkan ke pemerintah pusat dan DPR-RI sehingga nantinya memiliki legitimasi yang lebih tinggi dan kuat. Terlepas dari masalah idelologi atau ekonomi sebagai penyebab timbulnya separatisme RMS dan masalah pelacakan jejak aktor intelektual di balik aksi penari liar 29 Juni 2007, DPRD Maluku bersama Pemprov dan Pangdam/Kapolda setidaknya harus segera meminta maaf kepada Prsiden SBY secara terbuka.(*)
Oleh Oleh Daniel Leonard dan Dien K
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007