Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi menyatakan, Indonesia harus berani membatalkan kesepakatan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura, jika negara itu tidak mau melanjutkan pembicaraan tentang kerjasama yang telah disepakati itu. "Kalau Singapura tetap tidak mau bicara dan menyetujui aturan pelaksanaan (implementing arrangement/IA) DCA khususnya di area Bravo, dari Indonesia, ya sudah batalkan saja," katanya di Jakarta, Kamis. Ia mengatakan, perjanjian ekstradisi yang disahkan bersamaan dengan DCA memang sangat penting artinya bagi Indonesia, tetapi jika Singapura tetap tidak mau menerima usulan Indonesia tentang aturan pelaksanaan DCA, khususnya di area Bravo, maka Indonesia tidak perlu ragu membatalkan keduanya karena kedua Perjanjian itu adalah satu paket. "Toh jika perjanjian ekstradisi diberlakukan, belum sepenuhnya dapat mengembalikan aset-aset negara yang dilarikan ke negara itu. Bahkan pemberlakuan perjanjian ekstradisi berarti pula pengakuan bahwa Singapura menampung hasil-hasil kejahatan itu," tutur Muladi. Ia menambahkan, jika aturan pelaksanaan DCA terutama di area latihan Bravo belum disepakati, maka kesepakatan kerjasama tersebut juga belum dapat disahkan DPR. Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengatakan, Singapura sengaja menghambat kesepakatan kerjasama pertahanan dengan RI, agar perjanjian ekstradisi juga gagal dilaksanakan. "Singapura sengaja memacetkan DCA dengan mengutak-atik area latihan Bravo yang belum ada aturan pelaksanaannya," katanya. Juwono mengungkapkan, bagi Singapura jika perjanjian ekstradisi berjalan maka Negara Singa itu akan kehilangan pendapatannya. Bagaimana pun selama ini Singapura merupakan salah satu negara yang hidup dari `uang panas`. "Singapura sama halnya dengan Swiss yang mengelola uang-uang panas dari berbagai negara seperti Afrika, Amerika Latin, Hongkong, Cina, dan Indonesia," kata Juwono. Berdasar data lembaga riset keuangan Marry Lynch, terdapat 18 ribu orang Indonesia yang memiliki jaringan bisnis dengan nilai diatas satu juta dolar Singapura, dengan total nilai 87 miliar dolar Singapura berpangkal di Singapura. "Sebagian besar warga keturunan, sebagian lagi pejabat yang menyimpan uang di sana. Tidak semua ilegal, tidak semua buron BLBI. Tapi yang kita minta untuk 1997-2001, Singapura harus mengakui menampung uang panas ini," ujar Juwono.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007