Jakarta (ANTARA News) - Mantan calon guburnur DKI Jakarta Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, setelah dirinya batal maju dalam percaturan pilkada DKI Jakarta, dirinya tidak dapat menjamin para pendukungnya akan beralih pilihan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto. "Ada satu hal yang pasti, jika saya maju, mereka akan mendukung saya. Tapi setelah saya tidak jadi maju, maka pilihan `pulang` ke diri mereka masing-masing," kata Sarwono di sela-sela diskusi bertajuk "Demokrasi Terancam di Pilkada DKI Jakarta" di Jakarta, Rabu. Sarwono menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah mengarahkan kepada para pendukungnya untuk memilih salah satu pasangan calon yang maju. "Saya hanya menunjukkan fakta yang ada dan membiarkan mereka mengambil pilihan sendiri. Dukungan itu, individual bukan kelompok, apalagi proses pemilihan dilakukan secara langsung," ujarnya. Meskipun tidak ada arahan untuk para pendukungnya, Sarwono yakin para pendukungnya akan mengambil pilihan terbaik. Disinggung, setelah dirinya tidak mencalonkan diri, akan mengarah kemana suaranya, Sarwono enggan berkomentar. "Masih ada 25 hari lagi untuk menentukan dukungan," ujarnya. Namun, Sarwono berharap para pasangan calon seharusnya bisa mengemukakan konsep dan segera mengkomunikasikan ide-idenya untuk Jakarta. "Pasangan calon jangan hanya diam. Mereka harus melakukan komunikasi intensif kepada rakyat. Sayangnya, mereka semakin besar perannya, makin sedikit ngomongnya," katanya. Komunikasi itu, sangat diperlukan karena jangan sampai masyarakat merasa masa bodoh dengan pilkada karena sosialisasi yang terbatas dari pasangan calon dan partai politik. Menurut Sarwono, jika kondisi tersebut berlarut-larut, maka dikhawatirkan minat atau partisipasi masyarakat akan rendah, meskipun dalam hitungan statistik daftar pemilih tetap (DPT) atau pemilih yang menggunakan hak pilihnya tinggi. "Minat masyarakat rendah, tapi jumlah pemilih tinggi. Kemungkinan banyak hal itu, dikarenakan adanya ghost voters (pemilih hantu atau fiktif) di dalamnya," katanya. Sarwono berpendapat, angka ghost voters itu, disebabkan lemahnya pantauan terhadap mobilitas penduduk DKI yang tinggi. Frekuensi pemantauan mobilitas penduduk DKI tidak ideal, sehingga terjadi kesenjangan antara statistik dan data di lapangan. "Jika masalah data pemilih tidak diselesaikan maka bisa memicu konflik dan berpengaruh pada legitimasi calon terpilih. Lagi-lagi kuncinya ada di dua calon itu, dengan melakukan komunikasi jika legitimasinya ingin kuat," katanya. Temuan LP3ES, jumlah ghost voters mencapai 21 persen, sedangkan warga DKI yang tidak mendapatkan hak pilihnya mencapai 22 persen. KPUD Jakarta telah menetapkan DPT Pilkada DKI Jakarta. Berdasarkan penelitian LP3ES, 22% dari 7 juta warga Jakarta tidak terdaftar dalam DPT tersebut. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007